Rabu, 29 Desember 2010

PRESPEKTIF OTONOMI PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI BANTEN

PRESPEKTIF OTONOMI
PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI BANTEN
Oleh E. Rahmat Jazuli, SH.,MH
A. Pendahuluan
Kesuksesan reformasi 1998 menggeser penguasa diktator dan mengusung demokratisasi pada seluruh aspek kehidupan bernegara tidak lantas bangunan demokrasi telah selesai melainkan masih terus berputar mencari bentuk yang tepat bagi tatanan pemerintahan negara Indonesia. Pada tataran ini demokrasi dapat dipahami pada dua aspek: pertama, merupakan nilai yang akan terus berproses seiring dengan dinamika perubahan masyarakat; kedua, sebagai mekanisme dan prosedur yang bersifat formal bagi proses institusionalisasi nilai-nilai demokrasi di tengah masyarakat. Oleh karena itu demokrasi merupakan suatu proses dinamis yang akan berlangsung secara terus menerus (continue) antara nilai-nilai ideal demokrasi (demokrasi ideal) dengan praktek demokrasi (real demokrasi) .
Salah satu respon atas tuntutan reformasi bagi demokratisasi pemerintahan di Indonesia adalah dikeluarkannya Undang-undang (selanjutnya disingkat UU) Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah . Kebijakan tersebut merupakan upaya merealisir satu sisi struktur bangunan demokrasi melalui otonomi daerah dengan memberi ruang besar bagi pemerintahan daerah untuk menyelenggarakan seluruh fungsi-fungsi pemerintahan di luar; bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain . Seiring dengan perubahan-perubahan politik ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945 khususnya setelah amandemen kedua tahun 2000, kebijakan-kebijakan dasar Pemerintahan Daerah banyak mengalami perubahan sehingga secara rasio yuridis perlu penyesuaian dan hal itu disikapi oleh Pemerintah dan DPR melalui pengesahan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah untuk mengganti UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menggatikan UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Sebagai salah satu issu strategis dalam proses demokratisasi, otonomi daerah terus mendapat apresiasi dari seluruh masyarakat Indonesia untuk mencoba diartikulasi dan dikontekstualisasi seiring dengan nilai-nilai demokrasi yang banyak dilekatkan dengan otonomi itu sendiri. Sebagai bukti apresiasi yang sangat tinggi dari masyarakat Indonesia mengenai otonomi dan demokrasi terlihat pada varian penyelenggaraan otonomi yang beragam antara satu daerah dengan daerah lainnya. Seperti Otonomi Khusus Nangro Aceh Darus Salam, Otonomi Khusus Papua, Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Semua bentuk terminologi kekhususan serta sebutan otonomi dan daerah mengandung aspek struktur dan fungsi yang harus dikaji lebih mendalam untuk mendapatkan makna konsep di balik kata-kata itu. Di samping apresiasi otonomi pada tingkat Propinsi, tidak ketinggalan pula daerah kabupaten dan kota, dengan berusaha mengangkat dan merumuskan nilai-nilai lokal dalam berbagai kebijakan pemerintahan seperti Tangerang dengan Perda tentang larangan Pelacuran dan banyak lagi daerah lainnya.
Kita berkumpul dalam satu mimbar demokrasi, tidak lain kecuali ingin menemukan suatu jawaban atas kegelisahan yang diantarkan oleh demokrasi di era otonomi. Pertanyaan yang menggelisakan itu adalah “Mungkinkah Syariat Islam diterapkan di Banten ?” kemudian disusul dengan kegelisahan berikutnya “Jika mungkin bagaimana cara melakukannya dan dimulai dari mana?”. Pertanyaan-pertanyaan di atas harus dijawab dari berbagai disiplin ilmu (interdisiplin), baik politik, sosiologis, antoropologis dan sudut pandang ilmu hukum khususnya hukum tata negara sebagaimana maksud makalah ini ditulis. Saya berkeyakinan bahwa makalah ini tidak akan menjawab tuntas permasalahan yang sedang kita bahas tetapi minimal sedikitnya membantu memecahkan kegelisahan yang sedang mendera.
B. Dimensi Otonomi dan Prospek Hukum-Hukum Lokal
Otonomi sebagai konsep dan teori yang terderivasi dari demokrasi senantiasa berada dalam dinamika ideal dan praktis artinya struktur demokrasi dalam bentuk organ-organ otonomi yang ada hari ini terus mengalami ujian, apakah mampu membawa nilai-nilai demokrasi (democracy of value) dalam tataran praktis. Oleh karena itu, memperbincangkan otonomi tidak dapat dipisahkan dari asas yang melandasinya yakni demokrasi dalam konsep negara kesatuan. Demokrasi sendiri memiliki spektrum yang sangat luas mulai dari masalah ideal (asas) sampai masalah-masalah paraktis (institusional), sehingga perlu pembatasan dengan standar tolok ukur yang jelas. Ada dua standar demokrasi yang lazim digunakan dalam analisis-analisis akademis: pertama, demokrasi maksimalis yang mengisyaratkan dimensi-dimensi non politis seperti ekonomi, sosial da budaya sebagai prasyarat kemajuan demokrasi, dan kedua, demokrasi minimalis atau biasa disebut formal atau prosedural demokrasi yang dikembangkan oleh Joseph Schumpeter dengan syarat partisipasi yang tinggi dari rakyat dan kehendak rakyat merupakan hasil dari proses politik demokratis . Gagasan demokrasi minimalis Schumpeter kemudian dikuatkan dan dilengkapi oleh Robert A Dahl dengan mengajukan beberapa prasyarat demokrasi antara lain; pertama, merumuskan preferensi untuk kepentingannya sendiri, kedua, memberitahukan prihal preferensi kepada sesama warga dan kepada pemerintah baik individual maupun kolektif, ketiga, mengusahakan agar kepentingannya dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah . Selanjutnya Dahl mengajukan lima kriteria demokrasi ideal; pertama, persamaan hak pilih, kedua, partisipasi efektif, ketiga, pembenaran kebenaran, keempat, kontrol terakhir terhadap agenda, dan kelima, pencakupan. Salah konsep yang dikembangkan Dahl dalam teori demokrasinya adalah pluralist democracy yang ditandai oleh poliarki dalam suatu negara dengan mana organisasi-organisasi relatif otonom .
Dari uraian singkat di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa paling standar dalam ukuran demokrasi adalah derajat aspirasi dan partisipasi rakyat dalam setiap pengambilan keputusan politik. Jika demikian, dimana letak relevansi demokrasi dan otonomi. Secara etimologi kata otonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata yakni autos yang berarti sendiri dan nomous berarti pengaturan. Jika kedua kata digambungkan menjadi autonomy mengandung pengertian pengaturan sendiri , sedangkan secara terminologi, otonomi menurut Danurejo adalah zelfwetgeving atau pengaturan sendiri. Otonomi atau kemandirian terkait dengan pemerintahan lokal untuk mengurus rumah tangga sendiri sebagai bagian dari sistem penyelenggaraan pemerintahan dalam negara kesatuan . Dengan demikian esensi otonomi adalah kemandirian yaitu kebebasan untuk berinisiatif dan bertanggungjawab sendiri dalam mengatur dan mengurus pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya . Ditinjau dari sisi negara kesatuan, otonomi daerah merupakan sistem pendistribusian kewenangan (distribution of authority) dari sumber kekuasaan yang lebih tinggi ke instasi-instansi pemerintahan tingkat bawah dengan mana kewenangan-kewenangan tersebut diserahkan untuk dikelolah secara mandiri berdasarkan prakarsa dan dalam lingkup teritorialnya masing-masing.
Ketika kewenangan-kewenangan tertentu di bidang pemerintahan diberikan kepada daerah otonom untuk dikelola secara mandiri dengan sendirinya akan berimplikasi pada: pertama, persebaran kekuasaan berarti perluasaan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan; kedua, kemandirian untuk merumus dan memprakarsai pembangunan daerah berdasarkan aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat; ketiga, mengakomodasi pluralitas sosio-kultur masyarakat; keempat, efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan bagi kesejahteraan rakyat; kelima, akses rakyat mudah dan cepat dalam penyelenggaraan pemerintahan; keenam, akuntabilitas dan resposibilitas baik pemerintah maupun rakyat. Dari uraian ide-ide di atas, timbul satu pertanyaan yang masih merupakan problem otonomi yakni jenis kewenangan yang diserahkan dan sebatas mana kewenangan itu dapat dikelolah oleh daerah otonom.
C. Dimensi Pengaturan dan Prospek Penerapan Syariat Islam di Banten
Bagaimanapun demokrasi digagas tanpa rule of the game yang menjadi bingkai perekat dari semua sendi demokrasi hanya akan berujung pada kekacauan (destructive). Oleh karena itu bentuk dari gagasan terkini tentang demokrasi adalah constitutional democracy atau rechtsstaat democratiche yakni sebuah konsep yang hendak meletakkan hukum dan demokrasi sebagai pilar utama kelangsungan negara. Secara sederhana gagasan ini mendeskripsikan manivestasi tertinggi kedaulatan rakyat berada pada Konstitusi (UUD) dan produk-produk hukum lainnya merupakan sisi-sisi dari perwujudan kedaulatan rakyat dan demokrasi. Oleh karena itu berdasarkan stuffenbau des rechts theory, produk-produk hukum yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang berada di atas, sebab keabsahan atau faliditas norma ditentukan oleh norma yang derajatnya paling tinggi. Kembali ke pertanyaan sebagaimana pada bagian akhir pendahuluan di atas, mungkinkah Syariat Islam diterapkan di Banten?.
Sejarah telah mencatat bahwa Banten pernah berjaya selama tiga abad yaitu mulai dari abad XV s/d abad XVIII, pada masa itu Banten merupakan salah satu pusat peradaban Islam di Indonesia dan memiliki keterkaitan yang signifikan dengan kekhalifahan ustmaniah di Turki. Saat itu Banten begitu maju dan terkenal karena ditopang dengan sistem kehidupan yang Islami. Banten juga dikenal sebagai salah satu kota Internasional yang memiliki jaringan yang sangat luas dalam aspek perdagangan. Dari Kesultanan Banten tersebut lahirlah tokoh-tokoh yang sangat disegani, seperti Sultan Maulana Hasanudin, Sultan Ageng Tirtayasa, Syech Nawawi, Sech Maulana Yusuf, KH.Wasyid, KH.Achmad Khatib dan para Ulama besar lainnya.
Menelusuri rumusan-rumusan normatif politik hukum Indonesia yang terdapat dalam UUD 1945 Pembukaan Alinea III, khususnya kata “...atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan...” merupakan landasan Konstitusional yang sangat kuat untuk menerapkan atau menjadikan Syari’at Islam sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Keberadaan kalimat tersebut menandakan bahwa para founding Fathers dengan penuh kesadaran meyakini keberadaan campur tangan Allah Yang Maha Kuasa bagi hadirnya Negara Republik Indonesia. Keyakinan tersebut kemudian dipertegas dalam alinea keempat khususnya kalimat “...berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa...”. Selanjut dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) Negara Berdasarkan Atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan-ketentuan tersebut disimpulkan oleh Jimly Asshiddiqie sebagai bentuk pengakuan akan kemahakuasaan Tuhan yang diwujudkan melalui kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum secara bersinergi. Akhmad Sukarja kemudian menyimpulkan bahwa kalimat-kalimat tersebut mengandung dimensi ketauhidan dan bersifat monoteisme yang terdapat konsep agama Islam. Lebih lanjut Sukarja dengan analisis historisnya mengatakan bahwa kata Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan hasil kompromi dengan kekuatan-kekuatan di luar Islam . Pendapat-pendapat tersebut diperkuat oleh Pasal 9 UUD 1945 tentang sumpah Presiden yang berbunyi “Demi Allah...” menandakan bahwa dari segi demokrasi konstitusional penerapan Syari’at Islam sangat mungkin bagi Indonesia pada umumnya dan Banten pada khususnya.
Diperhadapkan pada masalah pluralitas bangsa dengan berbagai latar belakan agama, suku, etnis dan budaya, harapan-harapan untuk menerapkan Syari’at Islam secara nasional mengalami hambatan yang cukup serius, sehingga aspek-aspek pengaturan Syari’at Islam lebih banyak muamalah. Oleh dari itu, otonomi menjadi wilayah subur untuk mengeksplorasi dan mengartikulasi pluralitas demokrasi dari berbagai latar belakang agama, suku, etnis dan budaya dalam negara kesatuan Republik Indonesia dengan beruasaha mengangkat nilai-nilai lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu ketentuan normatif bagi kehidupan demokrasi di era otonomi adalah ketentuan Pasal 18 UUD 1945 ayat (2) Pemerintahan Daerah Provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan; dan ayat (3) Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Kemudian Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 18B tersebut, yang menjadi dasar konstitusional bagi pembentukan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa.
Menindaklanjuti ketentuan UUD 1945 di atas Pemerintah bersama DPR mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Wewenang pemerintahan daerah mencakup seluruh urusan pemerintahan kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama . Apabilah kembali ke pertanyaan “mungkinkah penerapan Syari’at Islam di Banten?, maka ada beberapa persoalan konsepsional yang harus diselesaikan terlebih dahulu;, apa yang menjadi dasar hukum pemberlakuan Syari’at Islam bagi Propinsi Banten (politik hukum), apakah merujuk kepada UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah atau Propinsi Banten sendiri menuntut otonomi khusus seperti NAD dan Papua?
Jika berdasar kepada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, khususnya menyangkut lingkup kewenangan pemerintahan daerah, maka beberapa ketentuan Syari’at Islam dapat diberlakukan tetapi terbatas pada hal-hal yang bersifat muamalah, karena apabilah mengatur masalah-masalah jinayat, posisi Perda sebagai produk hukum daerah sangat lemah dan terbatas sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Persoalan kemudian adalah bagaimana jika Perda menerapkan hukum rajam bagi pezina? Ketentuan itu dengan sendirinya bertentangan dengan Pasal 136 ayat (3) Perda sebagaimana ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Masalah tersebut termasuk masalah serius hari ini bagi otonomi khusus NAD. Sedangkan apabilah diarahkan pada otonomi khusus maka Banten akan mengalami perubahan struktur dan titik berat otonomi berada pada pemerintahan Propinsi. Saya pikir persoalan tidak akan selesai sampai di situ tetapi masih membutuhkan pengkajian lebih lanjut, sebab Syari’at Islam tidak hanya persoalan kaidah-kaidah normatif yang bersifat asas tetapi termasuk struktur dan prosedur bagi tegaknya Syariat Islam yang perlu disingkronisasi dengan hukum-hukum nasional lainnya, sebab bagaimanapun pikiran-pikiran tersebut masih dalam kerangka NKRI.
D. Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal antara lain: pertama, masih terdapat problem paradigma antara unifikasi dan pluralisme hukum yang hendak dibangun dalam krangka demokrasi di era otonomi; kedua, jika problem tersebut belum selesai maka Syari’at Islam yang hendak kita terapkan di daerah tercintah ini, akan menjadi Syariat setengah hati. Jika memang serius untuk menegakkan Syari’at Islam, maka melalui forum ini disarankan untuk dibentuk tim yang akan mengkaji dan merumus secara konsepsional langka-langka taktis dan strategis bagi perujudan niatan itu, semoga Allah meridhoi usaha kita.




DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Affan Gaffar, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Ahmad Sukardja, Piagam Madina dan UUD 1945; Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk, UI Press, 1995.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997.
Jimly Asshidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2004.
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah; Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2004.
Krisna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000.
Mohtar Mas’oed, Negara Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994.
Robert A. Dahl, Dilemmas Of Pluralist Democracy; Autonomy Versus Control, New Haven and London, Yale University Press, 1982 dan telah diterjemahkan oleh Drs. Sahat Simamora dengan judul Dilema Demokrasi Pluralis; Antara Otonomi dan Control, Rajawali Press, Jakarta, 1985.
Sarundajang S.H., Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Sinar Harapan, Jakarta, 2000.
Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, Liebe Book Press, 2004.
B. Makalah
Ali Mustafa, Potensi Banten Dalam Penerapan Syarii’ah Islam. Makalah Seminar Regional BEM Fakultas Hukum Untirta 03 Mei 2006.
C.Peraturan Perundang-undagan
Undang Undang Dasar 1945 Amandemen I, II, III, VI.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar