Jumat, 17 Desember 2010

Pilkada dan Demokratisasi Pemerintahan

PILKADA DAN DEMOKRATISASI PEMERINTAHAN
Oleh: E.Rakhmat Jazuli.SH.MH.®

Pendahuluan
Pilkada dan demokratisasi pemerintahan merupakan satu mata rantai yang tidak dapat diputuskan oleh situasi apapun, hal ini dikarenakan lahirnya proses pilkada merupakan perwujudan dari demokratisasi pemerintahan daerah, artinya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang didasarkan pada atribusi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Amandemen yang menyatakan "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis". Ketentuan ini kemudian melahirkan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan melahirkan satu rangkaian proses demokratisasi pemerintahan daerah, yaitu penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan dengan cara otonomi seluas-luasnya.
Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi luas adalah daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Oleh karena itu daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.Adanya kewenangan yang sangat luas yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah telah menuntut kepada daerah untuk berkewajiban mensejahterakan masyarakat daerahnya sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Oleh karena itu hakekat otonomi tidak hanya sekedar pengalihan kewenangan penyelenggaraaan pemerintahan daerah, tetapi merupakan satu kewajiban yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mendekatkan simpul-simpul pemerintahan dengan rakyatnya agar lebih sejahtera, artinya pilkada tidak hanya merupakan demokrasi formal minimalis ala Schumpter, tetapi harus menyentuh subtansi demokrasi yang mengedepankan kesejahteraan rakyat (demokrasi maksimalis) .

Pilkada Tidak Hanya Pesta Demokrasi Rakyat Di Daerah

Pilkada memang merupakan pesta demokrasi, tetapi tidak sekedar pesta demokrasi yang hanya sampai pada proses terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah. Lebih jauh pilkada adalah start dari sebuah demokratisasi pemerintahan di daerah oleh karena itu pilkada harus diawali dengan proses-proses demokrasi yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pemerintahan daerah setempat tidak hanya kepentingan untuk mendapatkan kekuasaan menjadi seorang kepala daerah. Satu hal yang perlu dicermati dari hakekat demokratisasi pemerintahan adalah mendekatkan simpul-simpul penyelenggaraan pemerintahan dengan rakyat sehingga aspirasi masyarakat akan lebih terakomodir dan terlealisasi untuk kesejahteraan rakyat.
Pilkada dalam persfektif demokratisasi pemerintahan, merupakan satu proses awal dimana masyarakat dapat mengenal dan memahami sejauh mana karekteristik calon kepala daerah dalam memahami nilai-nilai pemerintahan daerah setempat, yang kemudian apabila dia terpilih nilai-nilai daerah tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk program kerja yang akan meningkatkan dan bermanfaat bagi taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat didaerahnya. Sehingga apabila hakekat Pilkada dipahami sebagai satu proses demokratisasi pemerintahan, akan terhindar dari satu propaganda black campaign yang dikeluarkan dalam bentuk saling menjatuhkan rival politik dalam pilkada dan akhirnya berujung pada permasalahan yang akan menodai proses-proses demokrasi.
Pilkada harus menjadi ajang pertarungan visi, misi, serta karekteristik dari calon-calon pemimpin bangsa yang telah mapan baik dalam proses pendewasaan politik, intelektual, moral dan agama, karena harus kita pahami bahwa para calon-calon pemimpin bukanlah seorang pemimpi yang menjual khayalan dan omongan kosong belaka, tetapi pemimpin itu adalah orang yang harus mampu memberikan realitas-realitas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat untuk dapat dijadikan manfaat dalam peningkatan kesejahteraan hidup baik secara sosial, ekonomi, agama, moral dan intelektual. Pada akhirnya dapat dikatakan andalah pilihan terbaik diantara yang baik bukan pilihan baik diantara yang buruk.

Pilkada Amanat Konstitusi

Pilkada merupakan suatu proses legal yang telah diamanatkan oleh konstitusi melaui Pasal 18, yang kemudian diatribusikan melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu Pilkada merupakan indikator dari proses demokratisasi pemerintahan, artinya keberhasilan proses pilkada merupakan wujud dari pencitraan yang baik terhadap penegakan konstitusi. Satu hal yang perlu dipahami bahwa dalam demokratisasi pemerintahan masalah pengorganisasian dan pembagian fungsi-fungsi kekuasaan negara, harus dilakukan baik secara horizontal maupun secara vertikal yang dilakukan melalui cara-cara konstitusional, hal ini menunjukkan bahwa eksistensi demokrasi dipakai sebagai cara masyarakat politik untuk turut mengorganisasikan dirinya dalam mencapai tujuan bersama senantiasa berlandaskan konstitusi sebagai wujud dari negara hukum .
Oleh karena itu proses pilkada senantiasa dilandaskan pada aspek-aspek hukum yang menjadi landasan pijakannya mulai dari proses penjaringan calon sampai pada terpilihya calon kepala daerah, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa proses pilkada merupakan proses politik yang harus mendapat dukungan dari partai politik dan masyarakat, tetapi hakekatnya bahwa pilkada lahir karena amanat konstitusi oleh karena itu masalah yang timbul harus diselesaikan secara konstitusional yaitu melalui jalur hukum Apabila terjadi ketidakpuasan terhadap jalanya pilkada dan berujung menjadi sengketa maka hal ini merupakan sengketa hukum yang telah diatur penyelesaianya melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya Pasal 106 "keberatan terhadap hasil Pilkada diajukan kepada Mahkamah Agung oleh pasangan calon dan hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara". Jadi tidak dibenarkan dan merupakan perbuatan yang melanggar hukum apabila terjadi proses hakim sendiri terhadap ketidakpuasan jalannya pilkada, baik yang dilakukan perseorangan, kelompok ataupun massal.
Adanya jaminan konstitusi sebagai landasan dalam penyelenggaraan pilkada merupakan amanat luhur yang harus dijunjung tinggi untuk mewujudkan cita-cita bangsa dalam proses penegakan demokrasi. Selain itu pilkada merupakan indikator terhadap pencitraan proses penegakan kontitusi yang merupakan dari proses penegakan hukum, sehingga menjadi tangung jawab kita bersama, sebab menurut Friedman proses penegakan hukum dipengaruhi oleh budaya hukum, subtansial hukum dan struktural hukum. Faktor budaya terkait dengan perilaku masyarakat dalam mensikapi aturan-aturan yang ada, subtansial hukum adalah faktor kesiapan aturan yang ada dalam mensikapi persoalan masyarakat, sehingga hukum harus berada di depan untuk mengawal pembaharuan dalam masyarakat. Faktor struktural adalah kesiapan pemerintah dalam menyediakan institusi-institusi untuk mengawal jalanya penegakan hukum, sehingga apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan yang ada akan mudah untuk proses penjatuhan sanksi sebagai wujud dari penegakan hukum materil .

Pilkada Sebagai Proses Pendidikan Politik

Ciri demokrasi adalah penghormatan terhadap hak asasi manusia , oleh karena itu proses pilkada harus diperuntukan untuk sarana pendidikan politik rakyat dalam memahami hak dan kewajibannya dalam mensuarakan aspirasinya. Artinya dalam proses pilkada harus benar-benar terjadi transfer pendidikan politik melalui mekanisme-mekanisme yang di selenggarakan oleh komisi pemilihan umum (KPU) dan partai politik sebagai institusi yang dibuat oleh negara untuk menjaring calon-calon kepala daerah. Sehingga proses pendewasaan politik tidak dikotori oleh kepentingan poltik tetapi harus didasari oleh kepentingan pemahaman terhadap nilai-nilai yang luhur berlandaskan moral dan intelektual yang berlaku pada daerah setempat. Sehingga masyarakat tidak disuguhi oleh nilai-nilai politik fragmentasi yang hanya untuk kepentingan sesaat yaitu meraih suara terbanyak dengan money politic, black campaign.
Semuanya itu melahirkan politik imajinasi yaitu politik yang menyuguhkan tema kampanye dimana seolah-olah dirinya adalah satu-satunya tokoh yang bisa diandalkan untuk menjadi penyambung lidah rakyat, kemudian klaim ini ditampilkan para tokoh politik dengan membagikan sembako dalam kegiatan-kegiatan agama, mendatangi tokoh agama, menjadi aktif untuk tim donatur-donatur kegiatan dimasyarakat, tapi itu semua dilakukan pada saat menjelang pesta demokrasi sehingga masyarakat tergiur, sekali lagi politik imajinasi telah membuat masyarakat tertipu, seharusnya berbuatlah seperti itu dikala dia menjadi tokoh tanpa embel-embel kekuasaan maka rakyat dengan atau tanpa ajakanpun tetap akan memilih apabila memiliki sikap yang welas asih terhadap rakyatnya.
Sebaiknya pilkada harus diwujudkan dalam bentuk pesta demokrasi yang benar-benar dijadikan sebagai sarana pendidikan politik lokal untuk mengenal siapa tokoh putera dan puteri terbaiknya untuk membangun daerah dimasa yang akan datang dengan jaminan intelektual, moral dan agama yang terbaik sehingga dapat memegang amanat rakyat tanpa ada dusta diantara kita.

Penutup
Dilihat dari sudut pandang demokrasi, otonomi daerah diperlukan dalam rangka memperluas partisipasi masyarakat dalam pemerintahan guna mewujudkan kesejahteraan yang berdampingan dengan sistem pemencaran kekuasaan menurut dasar negara berdasarkan atas hukum. Berdasarkan hal tersebut maka lahirlah mekanisme pilkada secara langsung sebagai wujud demokratisasi pemerintahan daerah, tetapi pada hakekatnya pilkada dan demokratisasi pemerintahan tidak hanya sekedar cara dalam pemilihan kepala daerah secara langsung tetapi harus sampai pada titik dimana masayarakat sebagai subjek pemilih turut merasakan hasil tersebut dalam bentuk kesejahteraan taraf hidup masyarakat .
Mengacu pada pengalaman berbagai negara, praktetk penyelenggaraan pemerintahan daerah pada umumnya memang memilih tiga opsi yaitu dipilih secara langsung oleh masyarakat, dipilih oleh dewan /council, dan oleh pemerintah pusat.Sebenarnya di banyak negara terutama negara-negara yang realatif sudah maju seperti Hongaria, Norwegia dan Amerika, tiga model mekanisme itu tidak banyak menjadi perdebatan, karena apapun sistem yang dianut, sepanjang fungsi-fungsi pemerintah di daerah (protective, public service dan development) dapat dilaksanakan secara optimal dan dirasakan realisasinya oleh masyarakat .
Akhirnya dapat dikatakan pilkada merupakan wujud demokratis dalam pemerintahan daerah, tetapi untuk menuju demokratisasi pemerintahan di daerah harus ada perubahan paradigma bahwa pilkada hanya merupakan cara bukan subtansi. Oleh karena itu subtansi demokratisasi pemerintahan di daerah terletak pada prinsip rakyat harus menjadi subyek pemerataan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat .



Daftar Pustaka
Buku
Bagir Manan, Menyosong Fajar Otonomi Daerah,UII-Pers, Yogyakarta, 2000.
Bintoro Tjokroaminoto,Good Governance (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan), UI-Press, Jakarta, 2000.

M.Thalhah, Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung:Garansi Moral dan Demokrasi,Dalam Buku: Memperkokoh Otonomi Daerah; Kebijakan,Evaluasi dan Saran, UII-Press, Yogyakarta,2004.
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis,BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1983.

Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.


Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar