Rabu, 29 Desember 2010

STRATEGI PEMBANGUNAN POTENSI EKONOMI DAERAH MENURUT UU NO.32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

STRATEGI PEMBANGUNAN POTENSI EKONOMI
DAERAH MENURUT UU NO.32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
Oleh.E.Rakhmat Jazuli,

1. PENDAHULUAN
Tujuan Negara Repulik Indonesia seperti tercantum dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah ;
a. Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ;
b. Memajukan kesejahteraan umum ;
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa ; serta
d. Ikut serta melaksanakan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial .
Adanya tujuan negara tersebut telah memberikan suatu landasan bahwa bangsa Indonesia merupakan negara hukum kesejahteraan (wellfare state), konsekuensi negara hukum kesejahteraan adalah bahwa hukum dapat masuk dalam berbagai aspek bidang kehidupan, diantaranya dalam aspek ekonomi terkandung unsur adanya kesejahteraan sosial, seperti yang termuat dalam Pasal 33 UUD 1945 amandemen . Oleh karena itu ciri khas dari suatu negara kesejahteraan ialah negara melalui administrasi negara ikut turut serta aktif secara langsung dalam urusan-urusan yang menyangkut kesejahteraan rakyat .
Sehubungan dengan itu dalam masa pemerintahan Presiden Habibie dengan Kabinet Reformasi pembangunannnya telah lahir Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.22 Tahun 1999), sekarang sudah diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai konsekuensi untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat daerah melalui kewenangan otonomi yang seluas-luasnya- , adalah berorientasi pada pembangunan yaitu pembangunan dalam arti yang luas, dimana meliputi segi kehidupan dan penghidupan dari berbagai bidang, baik ekonomi, sosial, dan politik. Oleh karena itu pada hakekatnya otonomi daerah itu lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan dan meningkatkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakannya dengan penuh tanggung jawab .
Pembangunan daerah pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat didaerah melalui pembangunan ekonomi daerah yang serasi dan terpadu, baik antarsektor maupun antar daerah, dengan perencanaan oleh daerah yang bersifat efisien dan efektif menuju tercapainya kemandirian didaerah dan kemajuan yang merata diseluruh daerah . Pemerintah Daerah dengan adanya otonomi daerah harus dapat mewujudkan stabilitas ekonomi dan tercapainya efisiensi kinerja perekonomian karena pembangunan didaerah akan lebih cepat dan ekonomis jika dikerjakan sumberdaya manusia dari daerah itu sendiri yang lebih tahu apa yang dibutuhkan daerahnya.
Dengan demikian dalam pelaksanaan perekonomian daerah ada hal yang harus diperhatikan untuk dijadikan patokan dalam penyusunan strategi pembangunan potensi ekonomi daerah.

2. ASPEK HUKUM DALAM SISTEM PEREKONOMIAN INDONESIA
2.1. Sistem Perekonomian Indonesia
Pada hakekatnya ekonomi pun merupakan suatu sistem, Prof Heinz Lampert dalam bukunya Ekonomi Pasar Sosial ; Tatanan Ekonomi dan Sosial Republik Federasi Jerman, membedakan antara ; tatanan dari suatu perekonomian nasional yang sedang berjalan atau tatanan ekonomi efektif yang menjabarkan keadaan, kejadian dan karena itu bersifat deskriftif, tatanan yang dijabarkan, atau ideal atau konsep tatanan kebijakan . Tatanan ekonomi yang disebut pertama didasarkan pada hukum positif atau hukum yang berlaku (positive law), sedang pengertian sistem sebagai tatanan ideal yang berhubungan dengan konstitusi Indonesia (UUD 1945 Amandemen I,II,III,IV) dan sebagian lagi hukumnya masih harus dibangun untuk mencapai sistem ekonomi maupun sistem hukum yang mendukungnya .
Oleh karena itu sistem perekonomian yang ada pada Negara Indonesia, baik itu Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tetap berpegang teguh pada ketentuan Pasal 33 UUD 145 Amandemen , yaitu memberikan wewenang kepada Negara (Pemerintah) untuk berpihak sebesar-besarnya pada kemakmuran rakyat dengan tujuan suatu pemerataan dimana hal ini dapat dijadikan sebuah pondasi yang kuat bagi ekonomi/sistem ekonomi . Dengan demikian dalam pelaksanaan perekonomian daerah ada hal yang harus dijadikan patokan dalam sistem ekonomi yaitu demokrasi ekonomi harus dijadikan dasar pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah yang dirumuskan dengan lebih lugas dan lengkap, dengan penambahan ciri-ciri bahwa perekonomian daerah harus dikembangkan secara serasi dan seimbang antar daerah dalam satu kesatuan perekonomian nasional, dengan mendayagunakan potensi dan peran masyarakat secara optimal dalam perwujudan kesejahteraan rakyat secara merata .
Dengan dilandaskan pada ketentuan Konstitusi Negara Indonesia (UUD 1945), pada akhirnya adanya sistem ekonomi tersebut akan terhindar dari :
a. Sistem free fight libelralism, yang menimbulkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan mempertahankan kelemahan struktural ekonomi nasional.
b. Sistem etatisme, dalam arti bahwa negara beserta aparatur ekonomi bersifat dominan, mendesak dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi diluar sekitar negara .
c. Persaingan tidak sehat serta pemutusan kekusaan ekonomi pda satu kelompok dalam berbagai bentuk monopoli (penjual tunggal) yang merupakan suatu kegiatan bagi masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.

Sebagai suatu wacana bahwa sejak awal pemerintah Orde Baru meletakan strategi kebijakan ekonomi yang bersifat pragmatis dengan mengedepankan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama, telah memberikan suatu krisis ekonomi yang berkepanjangan dan membelit Bangsa Indonesia, setidaknya dari sisi ini telah memberikan beberapa pelajaran :
a. Model pembangunan ekonomi yang terlalu berorientasi ke dunia Internasional, baik untuk pasar, sumber barang maupun modal uang, membuat ketergantungan bangsa Indonesia kepada negara lain begitu besar.Ketergantungan tersebut membuahkan kerentanan, misalnya krisis ekonomi dan hal tersebut terjadi di luar kemampuan kita seandainya pasar dalam negeri terpuruk.
b. Model pembangunan ekonomi yang elitis, mengandalkan hanya pada segelintir orang lewat model konglomerasi, menghasilkan tatanan ekonomi yang bukan saja tidak adil tetapi juga rapuh.
c. Model pembangunan ekonomi yang berada dalam sistem politik otoritarian dan kekuasaan yang terlalu lama, maka cenderung menghasilkan sistem korupsi, kolusi dan nepotisme.

2.2. Aspek Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi
Dalam konsep negara kesejahteraan, seperti yang tertuang pada alinea keempat bahwa tujuan Negara Republik Indonesia adalah; untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta dalam melaksanakan ketertiban sosial, hal ini kemudian menjadi dasar dari adanya ketentuan-kententuan dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Indonesia sebagai Negara hukum modern . Oleh karena itu, konsepsi ini telah memberikan konsekuensi bagi peran dan tanggung jawab pemerintah yang semakin besar dan berat dalam memenuhi segala kebutuhan warga negaranya. Menurut Sjachran Basah , dalam menjalankan peran, tugas dan tanggung jawabnya pemerintah harus didasarkan pada prinsip batas atas dan batas bawah . Batas atas merupakan prinsip ketaat-asasan ketentuan perundang-undangan yaitu peraturan yang tingkat derajatnya rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingakt derajatnya lebih tinggi, sedangkan batas bawah merupakan prinsip peraturan yang dibuat atau sikap administrasi negara tidak boleh melangggar hak dan kewajiban asasi warganya .
Selain itu faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam pembanguna ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan stability, predictability dan fairness, dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem ekonomi untuk berfungsi, fungsi stability adalah potensi hukum untuk menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing, sedangkan precdictability adalah kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan dari suatu akibat langkah-langkah yang diambil olek pemerintah , fairness merupakan perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah untuk mrnjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan .
Disinlah keterkaitan antara hukum dengan ekonomi, yaitu saling mempengaruhi dalam aspek penciptaan pembangunan, menurut Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat, hal ini didasarkan atas tanggapan adanya ketertiban atau keteraturan dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan sesuatu yang mutlak dan harus ada . Oleh karena itu perubahan yang teratur dapat dibantu dengan perundang-undangan, keputusan pengadilan atau kombinasi kedua-duanya, sehingga perubahan yang teratur melalui prosedur hukum baik berupa wujud perundang-undangan maupun keputusan pengadilan lebih baik daripada perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan, akhirnya baik perubahan maupun ketertiban merupakan tujuan yang sama dari masyarakat yang sedang membangun dan hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan . Dalam pengertian ini hukum tidak hanya sebagai sarana untuk menciptakan ketertiban tetapi hukum juga digunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan sosial dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat masyarakat.
Sebagai suatu contoh dari adanya peranan hukum dalam aspek ekonomi adalah, Hukum Administrasi Negara (terutama yang berasal dari kekuasaan eksekutif) pada era tahun 1930-an di Perancis diadakan untuk membatasi kebebasan pasar demi keadilan ekonomi bagi rakyat miskin, agar tidak hanya mereka yang berduit saja yang dapat memenuhi kebutuhannya akan pangan, tetapi rakyat petani dan buruh juga tidak akan mati kelaparan, yaitu Pemerintah Perancis merasa wajib mengeluarkan peraturan Hukum Administrasi Negara yang menentukan harga maksimum dan harga minimum bagi bahan-bahan pokok maupun menentukan izin-izin pemerintah yang diperlukan untuk berbagai usaha dibidang ekonomi, seperti untuk membuka perusahaan, banyaknya penanam modal dan didalam usaha apa modal itu ditanamkan, ekspor atau impor barang .
Menurut Sjacran Basah, adanya peran, tugas dan tanggung jawab pemerintah yang semakin besar dan berat dalam memenuhi kesejahteraan masyarakatnya harus didasarkan pada batas atas dan batas bawah . Batas atas merupakan prinsip ketaat-asasan terhadap peraturan perundang-undangan yaitu peraturan yang tingkat derajatnya rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkat derajatnya lebih tinggi,sedangkan batas bawah adalah merupakan prinsip peraturan yang dibuat atau sikap tindak administrasi negara tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warganya . Dengan demikian jelaslah bahwa dalam pembangunan arti seluas-luasnya meliputi segi dari kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi belaka, karena kita tidak dapat membangun ekonomi suatu masyarakat tanpa menyangkut pembangunan segi-segi kehidupan masyarakat lainnya, yaitu peranan hukum dalam pembangunan untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur .




3. OTONOMI DAERAH DAN GOOD GOVERNANCE
3.1. OTONOMI DAERAH
UUD 1945 versi amandemen dengan tegas menyatakan bahwa pelaksanaan pemerintahan daerah dilaksanakan dengan asas otonomi dan tugas pembantuan . Asas otonomi mengandung pengertian, hak, wewenangdan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahandan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan , sedangkan asas tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah propinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksankan tugas tertentu. .
Dari adanya asas otonomi ini melahirkan sistem pemerintahan daerah desentralisasi yaitu penyerahan wewenang oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia , yang dimaksud daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dam sistem Negara Kesatuan republik Indonesia . Oleh karena itu pada prinsip otonomi dalam UU No. 32 Tahun 2004 merupakan prinsip otonomi yang luas-luasnya, dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. .
Dalam pelaksanaan kewenangan tersebut daerah harus memperhatikan prinsip-prinsip penataan kewenangan adalah :
a. Sesuai dengan dan kemampuan daerah, artinya terdapat bidang pemerintahan yang tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi,Maksudnya ada bagian-bagian dari bidang pemerintahan tidak dapat dilaksanakan oleh Kabupaten dan Kota, maka akan ditangani oleh Propinsi atau Pemerintah Pusat, atau oleh Kabupaten/Kota tetangga.
b. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, Departemen-departemen wajib menyiapkan Pedoman Standar Pelayanan Minimal dan selanjutnya Propinsi juga wajib menentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

Oleh karena itu pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dipandang sebagai strategi yang memiliki tujuan ganda, pertama, pemberian otonomi daerah merupakan strategi untuk merespons tuntutan masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama yaitu, pembagian kekuasaan, pemerataan pendapatan, dan kemandirian sistem manajemen di daerah.kedua, otonomi daerah dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam rangka memperkokoh perekonomian nasional untuk menghadapi era perdagangan bebas . Oleh karena itu tidak boleh diabaikan bahwa ada prasyarat yang harus dipenuhi sebagai daerah otonom yaitu, adanya kesiapan sumber daya manusia, dalam hal ini aparatur berkeahlian, adanya sumber dana yang dapat membiayai urusan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan masyarakat sesuai kebutuhan dan karekteristik daerah, tersedianya fasilitas pendukung pelaksana Pemerintah Daerah, otonomi daerah yang diterapkan adalah otonomi daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia .

3.2. GOOD GOVERNANCE
Good governance berkaitan dengan tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik, pemerintahan disini dapat diartikan baik secara sempit maupun luas, dalam arti sempit adalah penyelenggaraan pemerintahan yang baik bertalian dengan pelaksanaan fungsi administrasi negara(eksekutif), sedangkan dalam arti luas berkaitan dengan fungsi eksekutif, yudikatif dan legislatif . Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik meliputi ; motivasi yang jelas, tujuan yang jelas, tidak sewenang-wenang, kehati-hatian, kepastian hukum, persamaan perlakuan, tidak menggunakan wewenang yang menyimpang dari tujuan, fairness .
Dalam perkembangan hukum positif Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan dikenal adanya nama asas-asas umum pemerintahan yang baik pada Pasal 53 ayat (2) UU No.9 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Peradilan Tata Usaha Negara ,dalam penjelasannya memberikan pengertian bahwa asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi asas; kepastian hukum, tertib penyelenggara negara, keterbukaan, proposionalitas, prpfesionalitas, akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
United Nation Development Programe (UNDP) memberikan karakteristik good governance meliputi :
1. Participation, adalah keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara lansung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara secara konstruktif.
2. Rule of Law,adalah bahwa pemerintah harus berdasarkan hukum (recht staats), bukan berdasarkan kekuasaan belaka (macht staats).
3. Transparency, adalah keterbukaan yang dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung ataupun tidak langsung .
4. Responsif, adalah lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani kepentingan masyarakat.
5. Consensus Orientation, adalah berorientasi pada kepentingan masyarakat yang didasarkan pada asas kesepakatan musyawarah.
6. Equity, adalah setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan.
7. Efficiency and Effectif, adalah pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna.
8. Accountability, adalah pertanggungjawaban kepada publik atas setiap kebijakan yang diambil.
9. Strategic Vision, adalah penyelenggaraan pemerintah dan masyarakat harus memilki visi jauh kedepan.

Paradigma good governance menekankan arti penting kesejajaran hubungan institusi negara, pasar (pengusaha) dan masyarakat, bahkan institusi pasar semakin dominan, sedangkan peran institusi negara semakin mengecil, tetapi biarpun mengecil tetap penting, karena yang menggerakan kearah good governance itu tetap pemerintah . Bagi rakyat banyak, penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang memberikan berbagai kemudahan, kepastian, dan bersih dalam menyediakan pelayanan dan perlindungan dari berbagai tindakan sewenang-wenang, baik atas diri, hak maupun atas harta bendanya .
Otonomi daerah dengan kewenangan desentralisasi dan good governance sebagai framework dalam penyelenggaraan pemerintahan, memberikan arti untuk mendekatkan pemerintahan dengan rakyat dan meningkatkan akuntabilitas karena tanggung gugat terhadap masyarakat, dengan demikian pula mendekatkan kepekaan sosial melalui keterbukaan dan partisipasi .

4.STRATEGI PEMBANGUNAN POTENSI EKONOMI DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
4.1. Strategi Pembangunan Potensi Ekonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan atribusi dari UU No.32 tahun 2004, sebagai suatu upaya institusional guna mencegah berbagai bentuk ketimpangan pembangunan didaerah, artinya upaya tersebut merupakan hasil dari institusi-institusi yang secara hukum telah diberikan suatu wewenang untuk melakukan upaya-upaya dalam pencapaian tujuan dari adanya otonomi daerah. Pada hakekatnya tujuan dari adanya otonomi daerah adalah untuk mendekatkan antara pemerintah dengan rakyatnya, agar tercapai suatu kesejahteraan dalam masyarakat.
Dalam UU No.32 tahun 2004, dinyatakan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk melaksanakan otonomi yang seluas-luasnya yaitu mencakup semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, Yustisi, moneter dan fiskal Nasional, agama, serta kewenangan lainnya yang meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional. Disinilah faktor pijakan pertama daerah untuk melaksanakan pembangunan potensi ekonomi daerahnya, karena daerah diberi wewenang seluas-luasnya terkeculi yang ditentukan dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai batas kewenangan untuk pusat sehngga daerah tidak bisa melaksanakan kewenangan tersebut , menurut Sjachran Basah bahwa peraturan perundang-undangan tesebut merupakan batas atas yang harus dipatuhi oleh administrasi negara dalam melaksanakan tugasnya.
Oleh karena itu pada hakekatnya otonomi daerah itu lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan dan meningkatkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakannya dengan penuh tanggung jawab
Pembangunan daerah pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat didaerah melalui pembangunan ekonomi daerah yang serasi dan terpadu, baik antar sektor maupun antar daerah, dengan perencanaan oleh daerah yang bersifat efisien dan efektif menuju tercapainya kemandirian didaerah dan kemajuan yang merata diseluruh daerah. Pemerintah Daerah dengan adanya otonomi daerah harus dapat mewujudkan stabilitas ekonomi dan tercapainya efisiensi kinerja perekonomian karena pembangunan didaerah akan lebih cepat dan ekonomis jika dikerjakan sumberdaya manusia dari daerah itu sendiri yang lebih tahu apa yang dibutuhkan daerahnya.
Dengan demikian dalam pelaksanaan perekonomian daerah ada hal yang harus diperhatikan untuk dijadikan patokan dalam penyusunan strategi pembangunan potensi ekonomi daerah.

4.1.1. Tahapan Dalam Penyusunan Strategi Pembangunan Potensi Ekonomi Daerah
Tidak mudah untuk mengetahui potensi ekonomi suatu daerah, yang dimaksud potensi ekonomi daerah adalah kemampuan ekonomi yang ada didaerah yang layak dikembangkan sehingga terus berkembang menjadi sumber penghidupan rakyat setempat bahkan dapat mendorong perekonomia daerah secara keseluruhan untuk berkembang dengan sendirinya dan berkesinambungan . Sebelum sebuah strategi pembangunan disusun, seyogyanya terlebih dahulu diketahui kekuatan dan kelemahan daerah dalam pengembangan perekonomiannya, dengan mengetahui kelemahan dan kekuatan yang dimiliki suatu daerah maka akan lebih tepat dalam menyusun strategi pembangunan guna mencapai tujuan atau sasaran yang didinginkan. Disinilah dirasakan perlunya inventarisasi kekayaan daerah, termasuk sumber daya alam , sumber daya manusia dan lingkungan hidup daerah tersebut.
Pada tahap inilah Kepala Daerah dan Perangkat Daerah, dengan berpijak pada kewenangan daerah yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, mengadakan inventarisasi dari kekayaan daerah yang didalamnya termasuk sumber daya alam , sumber daya manusia dan lingkungan hidup daerah setempat. Inventarisasi yang berkaitan dengan sumber daya alam bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keberadaan dan ketersediaan sumber daya alam yang akan diolah oleh daerah sebagai kekayaan daerah untuk dijadikan industri, sedangkan inventarisasi terhadap sumber daya manusia ditujukan seberapa mampu daerah untuk dapat mengelola sumber daya alam tersebut sehingga daerah dapat mengetahui ahli-ahli profesional untuk mengolah kekayaan alam, selain itu daerah melakukan inventarisasi ini berkaiotan dengan apakah ketersediaan sumber daya alam profosional dengan jumlah kebutuhan penduduk setempat. Inventarisasi terhadap lingkungan hidup daerah setempat ini berkaitan dengan kepentingan tata letak kota yang dapat mendukung dan menjaga kualitas keberadaan sumber daya alam, misalnya dalam suatu daerah akan membuka lahan untuk industri, perumahan, perkantoran atau lahan perkebunan dan pertanian yang semuanya ditujukan untuk pembangunan daerah, maka Pemerintah Daerah harus memperhatikan unsu-unsur dari ruang dan tata letak kota suatu daerah.
Pemerintah Daerah dalam proses inventarisasi terhadap kekayaan sumberdaya alam, sumber daya manusia dan lingkungan hidup sekitar, sebaiknya bekerja sama dengan lembaga-lembaga diluar dari pemerintahan misalnya dengan lembaga penelitian dari suatu perguruan tinggi atau lembaga-lembaga penelitian dari lembag swadaya masyarakat (LSM). Disinalh akan masuk unsur good governance yaitu melalui kerjasama antara pemerintah, mayarakat dan pihak swasta pengusaha sebagai bentuk pemerintah memberdayakan masyarakat untuk dapat bersama-sama bertanggung jawab terhadap proses pembangunan.
Dengan demikian ada beberapa langkah dalam mempersiapkan strategi pembangunan potensi ekonomi daerah, yaitu :
a. Mengidentifikasi sektor-sektor kegiatan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan dengan memperhatikan kekuatan dan kelemahan masing-masing sektor.
b. Mengidentifikasi sumberdaya yang ada termasuk sumber daya manusianya dan siap digunakan untuk mendukung perkembangan setiap sektor yang bersangkutan.
c. Dengan menggunakan model analisa terhadap faktor yang memiliki kekuatan dan kelemahan, maka akan ditemukan sektor-sektor andalan yang selanjutnya dianggap sebagai potensi ekonomi yang patut dikembangkan didaerah yang bersangkutan.
d. Akhirnya menetukan strategi yang akan ditempuh untuk pembangunan sektor-sektor andalan yang akan menarik .

Dengan upaya-upaya tersebut diatas maka aspek kehati-hatian dalam pengambilam kebijakan sebagai salah satu unsur good governance akan dapat dilakukan, setelah itu barulah Pemerintah Daerah dapat menuangkan hasil inventarisasi tersebut dalam Renstra (Rencana Strategis) kemudian dalam proses berikutnya oleh Pemerintah Daerah dan Perangkat Daerah dituangkan dalam Propeda (Program Pembangunan Daerah).

4.1.2. Berbagai Strategi Pembanguna Ekonomi Daerah
Strtategi pembanguna ekonomi daerah tetap merupakan satu kesatuan dengan strategi pembangunan nasional, artinya landasan yang menjadi pijakan ekonomi daerah tetap harus mengacu pada sistem ekonomi yang dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945 Amandemen,yaitu demokrasi ekonomi harus dijadikan dasar pelaksanaan pembangunan ekonpmi daerah yang dirumuskan bahwa perekonomian daerah harus dikembangkan secara serasi dan seimbang antar daerah dalam kesatuan perekonomian nasional, dengan mendayagunakan potensi dan peran masyarakat secara optimal dalam rangka meujudkan kesejahteraan rakyat sesuai dengan tujuan negara dalm Pembukaan UUD 1945 alinea keempat .
Beberapa strategi pembangunan ekonomi daerah :
a. Prinsip Kekhususan dan Keragaman Daerah
Hal ini seiring dengan prinsip bahwa otonomi daerah menganut kekhususan dan keragaman daerah , yaitu bahwa bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus sama, karena isi dan bentuk otonomi daerah ditentukan oleh berbagai keadaan khusus dan keragaman setiap daerah . Oleh karena itu otonomi daerah untuk daerah pertanian dengan dapat berbeda dengan daerah industri, hal ini disebabkan adanya potensi daerah yang berbeda.
Disinilah kerjasama antar daerah harus terus digalang demi meningkatkan efisiensi, dengan kerjasama antar daerah diharapkan akan terjadi spesialisasi daerah, sehingga efisiensi antar daerah dapat ditingkatkan bagi semua pihak yang bekerjasama. Adapun bentuk kerjasama tersebut bisa berupa perdagangan, tukar menukar tenaga ahli, tukar menukar hasil daerah. Jadi pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif tidak berarti harus ada persaingan antar daerah yang satu dengan yang lainnya, tetapi kompetitif disini adalah dalam arti penciptaan hasil yang berkualitas dan saling mendukung antar daerah yang satu dengan yang lainnya, sehingga saling mengisi untuk memenuhi kesejahteraan ekonomi .
b. Pembangunan Pertanian dan Industri
Secara garis besar dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi daerah perhatian biasanya dipusatkan pada dua sektor yaitu sektor pertanian dan sektor industri . Sektor pertanian sebagai sektor yang berhubungan erat dengan pengolahan langsung sumberdaya alam yang tersedia di bumi dan sektor industri sebagai sektor kegiatan mengolah bahan/masukan yang diambil dari alam dan diolah lebih lanjut menjadi barang produksi ataupun barang konsumsi. Dengan melihat kondisi sumberdaya alam yang ada, terutama tersedianya tanah pertanian, dan jumlah serta kualitas sumberdaya manusia (keahlian dan keterampilannya), serta teknologi yang ada, dapat ditentukan bahwa suatu daerah mempunyai potensi yang kuat dalam pengembangan sektor pertanian atau sektor industri .
Jadi sebenarnya bukan pilihan antar sektor industri atau sektor pertanian yang harus dikembangkan, melainkan harus diusahakan suatu pembangunan yang terpadu, dimana sektor pertanian dikembangkan dengan produksi pertanianya guna digunakan sebagai bahan baku sektor industri pengolahan. Pada gilirannya industri pengolahan sedapat mungkin juga mendukung sektor pertanian dengan menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan pertanian, seperti alat pertanian, pupuk, obat-obatan .
Dengan terbukanya sistem ekonomi daerah melalui demokrasi ekonomi, maka tidak berarti bahwa daerah itu harus menghasilkan sendiri apa yang dibutuhkan oleh daerahnya, karena melalui kerjasama antar daerah dapat mendatangkan hasil industri pertanian ataupun hasil industri lainnya dari daerah lain.
c. Strategi Pasar
Strategi ini sebenarnya bertumpu pada peranan pasar. Kegiatan produksi barang jasa tentunya tidak akan berhenti setelah barang dan jasa tersebut dihasilkan, melainkan harus dilanjutkan sampai dengan memasarkan barang dan jasa tersebut. Dalam hal ini peranan pasar diluar daerah juga penting dalam arti kalau pasar didaerah sendiri sudah tidak dapat menampungnya (jenuh), maka dapat dilakukan distribusi barang atau jasa kedaerah lain atau keluar negeri, karena dalam ketentuan Pasal 195 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah dapat mengadakan kerjasama yang saling menguntungkan dengan lembaga/badan diluar negeri, sehingga akses untuk kerjasama dalam pemasaran barang atau jasa akan lebih terbuka.
d. Titik Pertumbuhan
Dalam mengamati perkembangan suatu perekonomian perlu diperhatikan pertumbuhan yang ada, biasanya pertumbuhan ini dilihat dari faktor permintaan dan penawaran yang ada, sehingga akan mengikuti suatu pola kekuatan permintaan yang terlalu besar akan mendorong diciptakannya kegiatan dan produksi tertentu yang sering kali menjadi berlebihan . Pada gilirannya kegiatan ini akan menciptakan permintaan terhadap barang dan jasa serta kegiatan lain akan berkembang terlalu cepat dan menciptakan kelebihan permintaan. Dalam kasus ini biasanya pemerintah mempunyai peranan penting untuk mengatasi dengan cara menyediakan perijinan dan prasarana, maupun perpajakan dan retribusi sebagai alat kontrolnya .
e. Hapuskan sebab-sebab ekonomi biaya tinggi
Ekonomi biaya tinggi adalah karena adanya tarif dan pungutan resmi maupun tidak resmi yang terjadi dalam setiap kegiatan, misalnya dalam biayai pengurusan ijin, manipulasi angka-angka aset maupun angka-angka produksi. Untuk itu diperlukan manajemen pemerintahan yang baik (good governance)yang dapat memberikan suatu suasana kondusif pada sistem usaha sehingga sistem perekonomian jadi berkembang.
f. Perbaiki kualitas sumber daya manusia
Faktor yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan suatu negara bukanlah tersedianya faktor produksi yang cukup, melainkan terletak pada manusianya. Pertama kali harus ada kemauan yang kuat dari manusia didaerah yang bersangkutan untuk membangun, karena UU telah memberkan suatu otonomi yang luas kepada daerah untuk mengelola daerahnya dengan poltik lokal yang dipilih oleh masyarakt daerahnya, artinya Kepala Daerah dan perangkat daerah sebagi Badan Eksekutif Daerah merupakan aset daerah yang diangakt oleh Pemerintah Daerah.
Oleh karena itu pola pikir yang harus dibangun adalah seperti yang dikatakan mantan Presiden Amerika John F.K “apa yang dapat kita berikan kepada negara bukan apa yang harus diberikan negara pada kita “, sehingga akan melahirkan motivasi untuk berkarya terhadap pelayanan publik sebagi wujud tugas negara .
g. Pertahankan Fungsi Lingkungan
Lingkungan sebagai sumber daya alam untuk menghasilkan bahan baku mentah yang akan diolah disemua sektor kegiatan, selain itu sebagai tempat untuk rekreasi dalam memenuhi kebutuhan fisik dan rohani manusia, oleh karena itu harus dipertahankan kualitas maupun kuantitasnya demi pembangunan yang bekelanjutan, artinya sumberdaya alam itu akan habis apabila tidak dijaga ekosistem lingkungannya (fungsi secara alami dari lingkungan tersebut), sehingga anak cucu kita nanti tidak dapat menikmati hasil dari sumberdaya alam. Dalam hal ini peran pemerintah sangat penting dalam hal menciptakan perangkat hukum untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan melalui perijinan.
4.2. Peran Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Potensi Ekonomi Daerah
Dengan melihat konsep tata Pemerintah Daerah , ada beberapa aspek yang penting dari suatu tata pemerintahan. Pertama, tata pemerintah adalah suatu sistem administrasi yang melibatkan banyak pelaku, misalnya dari pemerintah itu sendiri baik eksekutif maupun legislatif, dan lembaga bukan pemerintah dalam hal ini ada masyarakat pada umumnya,pengusaha, praktisi, akademisi. Hal ini disebabkan bahwa sumber legitimasi dari suatu pemerintah tidak hanya ditentukan oleh batas atas yaitu peraturan perundang-undang yang memberikan kewenanngan tapi juga dinilai dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Kedua tata pemerintah dikembangkan untuk merespon masalah dan kepentingan publik, sehingga pusat perhatian dari suatu tata pemerintahan adalah pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat luas.
Peran pemerintah sangat penting dalam proses pembangunan ekonomi daerah, oleh karena diperlukan suatu pengelolaan yang baik untuk mewujudkan ketertiban dan kesejahteraan bagi masyarakat, karena menurut Mochtar Kusumaatmadja , perubahan yang teratur dapat dibantu dengan perundang-undangan, keputusan pengadilan atau kombinasi kedua-duanya, sehingga perubahan yang teratur melalui prosedur hukum baik berupa wujud perundang-undangan maupun keputusan pengadilan lebih baik daripada perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan, akhirnya baik perubahan maupun ketertiban merupakan tujuan yang sama dari masyarakat yang sedang membangun dan hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.
Dalam konteks ini tata pemerintahan yang baik ditujukan pada cara dan kewenangan itu digunakan, yaitu dinilai baik ketika kekuasaan yang dikelola dan digunakan untuk merespon masalah-masalah publik dengan mengikuti prinsip dan nilai tertentu yang selama ini dinilai baik oleh masyarakat. Selain itu pemerintah sebagai institusi yang miliki peran penting dalam penyelengaraan pemerintahan selalu melibatkan stakeholders dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Partisipasi stakeholders dalam pengambilan keputusan menjamin adanya akomodasi kepentingan stakeholders dalam proses kebijakan sehingga kebijakan menjadi responsif terhadap kepentingan stakeholders, sehingga diharapkan kebijakan publik benar-benar mengabdi pada kepentingan publik .
Selain itu peran pemerintah harus dapat mewujudkan keadilan yaitu dalam penyelenggaraan pemerintah harus mampu menjamin kesamaan akses warga negara terhadap kekuasaan politik, ekonomi, dan administrsi, sehingga tidak ada lagi suatu pelayanan birokrasi yang diskriminatif dan menyebabkan biaya ekonomi tinggi untuk sekelompok orang tertentu akhirnya akan meyebabkan iklim usaha yang tidak sehat. Misalnya dalam masalah pelayanan birokrasi setiap warga negara mempunyai hak yang sama baik itu kelompok pengusaha pribumi atupun non pribumi, masyarakat biasa dengan pengusaha .
oleh karena itu dalam pembangunan ekonomi daerah pemerintah sangat berperan sangat penting untuk bisa mengarahkan kegiatan perekonomian, sebaiknya kegiatan perekonomian diarahkan pada kegiatan yang mempunyai keterkaitan visi secara kedepan secara lebih panjang, artinya adanya industri tersebut mendorong berkembangnya faktor-faktor produksi yang lain, misalnya industri perumahan paling banyak memiliki keterkaitan dengan fektor produksi yang lain yaitu adanya bahan baku pasir, semen, genting, cat , keramik, kayu, dan lain-lain.
Oleh karena itu peran pemerintah dalam pembangunan potensi ekonomi daerah hendaknya slalu berada didepan dalam arti memberikan pengarahan dan perencanaan pembangunan daerah. Pemerintah bertindak menyediakan barang, jasa yang tidak disediakan oleh swasta, seperti jalan raya, keadilan, dan stabilitas politik untuk faktor keamanan. Dalam hal terjadi kemacetan pembangunan, pemerintah daerah dapat bertindak sebagai pembuka jalan dan memotori perkembanngan, tetapi setelah swasta dapat mengembangkannya, maka pemerintah sedikit demi sedikit harus mengurangi perannya, karena dalam good governance tidak lagi pemerintah sebagai penyelengara tunggal dalam faktor pembanguan ekonomi, tetapi masyarakat terutama sektor usaha yang berperan dalam pengelolaan, sedangkan peran pemerintah dalam pembangunan yang semula bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar berubah menjadi menciptakan iklim kondusip dan melakukan investasi prasarana yang mendukung dunia usaha.

5.Penutup
1. Srtategi pembanguna ekonomi daerah tetap merupakan satu kesatuan dengan strategi pembangunan nasional, artinya landasan yang menjadi pijakan ekonomi daerah tetap harus mengacu pada sistem ekonomi yang dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945 Amandemen,yaitu demokrasi ekonomi harus dijadikan dasar pelaksanaan pembangunan ekonmi daerah yang dirumuskan bahwa perekonomian daerah harus dikembangkan secara serasi dan seimbang antar daerah dalam kesatuan perekonomian nasional, dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya sebagai dasar kewenangan daerah untuk melaksanakan pembangunan, dan menganut kekhususan dan keragaman daerah sesuai dengan Pasal 18 ayat (1), yaitu bahwa bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus sama, oleh karena itu otonomi daerah untuk daerah pertanian dengan daerah industri berbeda, hal ini disebabkan adanya potensi daerah yang berbeda.
2. Peran pemerintah dalam pembangunan potensi ekonomi berada didepan dalam arti memberikan pengarahan dan perencanaan pembangunan daerah, artinya pemerintah bertindak menyediakan barang, jasa yang tidak disediakan oleh swasta, seperti jalan raya, keadilan, dan stabilitas politik untuk faktor keamanan. Dalam hal terjadi kemacetan pembangunan, pemerintah daerah dapat bertindak sebagai pembuka jalan dan memotori perkembangan, tetapi setelah swasta dapat mengembangkannya, maka pemerintah sedikit demi sedikit harus mengurangi perannya, karena dalam good governance tidak lagi pemerintah sebagai penyelengara tunggal dalam faktor pembangunan ekonomi, tetapi masyarakat dengan sektor usaha berperan dalam pengelolaan, sedangkan peran pemerintah dalam pembangunan yang semula bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar berubah menjadi menciptakan iklim kondusip dan melakukan investasi prasarana yang mendukung dunia usaha.

DAFTAR PUSTAKA

Ateng Syafrudin, Titik Berat Otonomi Daerah Pada Daerah Tingkat II dan Perkembangannnya, CV.Mandar Madju, Bandung, 1991.

Bagir Manan, Menyosong Fajar Otonomi Daerah,UII-Pers, Yogyakarta, 2002.

Bintoro Tjokroaminoto,Good Governance (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan), UI-Press, Jakarta, 2000.

Ginanjar Kartasasmita, Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pembangunan dan Pemerataan, PT.Pustaka Cidesindo, Jakarta, 1996.

Gunawan Sumadiningrat, Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, Bina Rena Pariwara, Jakarta, 1997.

Haw Widjaja, Otonomi Daerah Dan Daerah Otonom, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2002.
Julius Bobo, Transformasi Ekonomi Rakyat, PT.Pustaka Cidesindo, Jakarta, 2003.

M.Suparmoko,Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2002.

Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah,Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2002.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002.

Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi,Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta, 2002.

S.F. Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002.

Sjahran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap/Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1992.

Soetrisno Lukman,Demokratisasi Ekonomi Dan Pertumbuhan Politik, Kanisius, Jakarta, 1997.

Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, PT.Rajawali Pers, Jakarta, 2002.

Makalah
C.F.G. Sunaryati Hartono,Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003, Makalah pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia , Badan Pembinaan Hukum Nasional, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Erman Rajaguguk, Peranan Hukum Di Indonesia : Menjaga Persatuan Bangsa, Memulihkan Ekonomi, Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Makalah pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia , Badan Pembinaan Hukum Nasional, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

Jusuf Anwar, Aspek-Aspek hukum keuangan dan Perbankan Suatu Tinjauan Praktis, Makalah pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional VIII Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia , Badan Pembinaan Hukum Nasional, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen I,II,III,IV.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.(telah diganti) dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Peradilan Tata Usaha Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tentang Pertanggungjawaban Kepala Daerah.

PRESPEKTIF OTONOMI PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI BANTEN

PRESPEKTIF OTONOMI
PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI BANTEN
Oleh E. Rahmat Jazuli, SH.,MH
A. Pendahuluan
Kesuksesan reformasi 1998 menggeser penguasa diktator dan mengusung demokratisasi pada seluruh aspek kehidupan bernegara tidak lantas bangunan demokrasi telah selesai melainkan masih terus berputar mencari bentuk yang tepat bagi tatanan pemerintahan negara Indonesia. Pada tataran ini demokrasi dapat dipahami pada dua aspek: pertama, merupakan nilai yang akan terus berproses seiring dengan dinamika perubahan masyarakat; kedua, sebagai mekanisme dan prosedur yang bersifat formal bagi proses institusionalisasi nilai-nilai demokrasi di tengah masyarakat. Oleh karena itu demokrasi merupakan suatu proses dinamis yang akan berlangsung secara terus menerus (continue) antara nilai-nilai ideal demokrasi (demokrasi ideal) dengan praktek demokrasi (real demokrasi) .
Salah satu respon atas tuntutan reformasi bagi demokratisasi pemerintahan di Indonesia adalah dikeluarkannya Undang-undang (selanjutnya disingkat UU) Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah . Kebijakan tersebut merupakan upaya merealisir satu sisi struktur bangunan demokrasi melalui otonomi daerah dengan memberi ruang besar bagi pemerintahan daerah untuk menyelenggarakan seluruh fungsi-fungsi pemerintahan di luar; bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain . Seiring dengan perubahan-perubahan politik ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945 khususnya setelah amandemen kedua tahun 2000, kebijakan-kebijakan dasar Pemerintahan Daerah banyak mengalami perubahan sehingga secara rasio yuridis perlu penyesuaian dan hal itu disikapi oleh Pemerintah dan DPR melalui pengesahan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah untuk mengganti UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menggatikan UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Sebagai salah satu issu strategis dalam proses demokratisasi, otonomi daerah terus mendapat apresiasi dari seluruh masyarakat Indonesia untuk mencoba diartikulasi dan dikontekstualisasi seiring dengan nilai-nilai demokrasi yang banyak dilekatkan dengan otonomi itu sendiri. Sebagai bukti apresiasi yang sangat tinggi dari masyarakat Indonesia mengenai otonomi dan demokrasi terlihat pada varian penyelenggaraan otonomi yang beragam antara satu daerah dengan daerah lainnya. Seperti Otonomi Khusus Nangro Aceh Darus Salam, Otonomi Khusus Papua, Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Semua bentuk terminologi kekhususan serta sebutan otonomi dan daerah mengandung aspek struktur dan fungsi yang harus dikaji lebih mendalam untuk mendapatkan makna konsep di balik kata-kata itu. Di samping apresiasi otonomi pada tingkat Propinsi, tidak ketinggalan pula daerah kabupaten dan kota, dengan berusaha mengangkat dan merumuskan nilai-nilai lokal dalam berbagai kebijakan pemerintahan seperti Tangerang dengan Perda tentang larangan Pelacuran dan banyak lagi daerah lainnya.
Kita berkumpul dalam satu mimbar demokrasi, tidak lain kecuali ingin menemukan suatu jawaban atas kegelisahan yang diantarkan oleh demokrasi di era otonomi. Pertanyaan yang menggelisakan itu adalah “Mungkinkah Syariat Islam diterapkan di Banten ?” kemudian disusul dengan kegelisahan berikutnya “Jika mungkin bagaimana cara melakukannya dan dimulai dari mana?”. Pertanyaan-pertanyaan di atas harus dijawab dari berbagai disiplin ilmu (interdisiplin), baik politik, sosiologis, antoropologis dan sudut pandang ilmu hukum khususnya hukum tata negara sebagaimana maksud makalah ini ditulis. Saya berkeyakinan bahwa makalah ini tidak akan menjawab tuntas permasalahan yang sedang kita bahas tetapi minimal sedikitnya membantu memecahkan kegelisahan yang sedang mendera.
B. Dimensi Otonomi dan Prospek Hukum-Hukum Lokal
Otonomi sebagai konsep dan teori yang terderivasi dari demokrasi senantiasa berada dalam dinamika ideal dan praktis artinya struktur demokrasi dalam bentuk organ-organ otonomi yang ada hari ini terus mengalami ujian, apakah mampu membawa nilai-nilai demokrasi (democracy of value) dalam tataran praktis. Oleh karena itu, memperbincangkan otonomi tidak dapat dipisahkan dari asas yang melandasinya yakni demokrasi dalam konsep negara kesatuan. Demokrasi sendiri memiliki spektrum yang sangat luas mulai dari masalah ideal (asas) sampai masalah-masalah paraktis (institusional), sehingga perlu pembatasan dengan standar tolok ukur yang jelas. Ada dua standar demokrasi yang lazim digunakan dalam analisis-analisis akademis: pertama, demokrasi maksimalis yang mengisyaratkan dimensi-dimensi non politis seperti ekonomi, sosial da budaya sebagai prasyarat kemajuan demokrasi, dan kedua, demokrasi minimalis atau biasa disebut formal atau prosedural demokrasi yang dikembangkan oleh Joseph Schumpeter dengan syarat partisipasi yang tinggi dari rakyat dan kehendak rakyat merupakan hasil dari proses politik demokratis . Gagasan demokrasi minimalis Schumpeter kemudian dikuatkan dan dilengkapi oleh Robert A Dahl dengan mengajukan beberapa prasyarat demokrasi antara lain; pertama, merumuskan preferensi untuk kepentingannya sendiri, kedua, memberitahukan prihal preferensi kepada sesama warga dan kepada pemerintah baik individual maupun kolektif, ketiga, mengusahakan agar kepentingannya dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah . Selanjutnya Dahl mengajukan lima kriteria demokrasi ideal; pertama, persamaan hak pilih, kedua, partisipasi efektif, ketiga, pembenaran kebenaran, keempat, kontrol terakhir terhadap agenda, dan kelima, pencakupan. Salah konsep yang dikembangkan Dahl dalam teori demokrasinya adalah pluralist democracy yang ditandai oleh poliarki dalam suatu negara dengan mana organisasi-organisasi relatif otonom .
Dari uraian singkat di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa paling standar dalam ukuran demokrasi adalah derajat aspirasi dan partisipasi rakyat dalam setiap pengambilan keputusan politik. Jika demikian, dimana letak relevansi demokrasi dan otonomi. Secara etimologi kata otonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata yakni autos yang berarti sendiri dan nomous berarti pengaturan. Jika kedua kata digambungkan menjadi autonomy mengandung pengertian pengaturan sendiri , sedangkan secara terminologi, otonomi menurut Danurejo adalah zelfwetgeving atau pengaturan sendiri. Otonomi atau kemandirian terkait dengan pemerintahan lokal untuk mengurus rumah tangga sendiri sebagai bagian dari sistem penyelenggaraan pemerintahan dalam negara kesatuan . Dengan demikian esensi otonomi adalah kemandirian yaitu kebebasan untuk berinisiatif dan bertanggungjawab sendiri dalam mengatur dan mengurus pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya . Ditinjau dari sisi negara kesatuan, otonomi daerah merupakan sistem pendistribusian kewenangan (distribution of authority) dari sumber kekuasaan yang lebih tinggi ke instasi-instansi pemerintahan tingkat bawah dengan mana kewenangan-kewenangan tersebut diserahkan untuk dikelolah secara mandiri berdasarkan prakarsa dan dalam lingkup teritorialnya masing-masing.
Ketika kewenangan-kewenangan tertentu di bidang pemerintahan diberikan kepada daerah otonom untuk dikelola secara mandiri dengan sendirinya akan berimplikasi pada: pertama, persebaran kekuasaan berarti perluasaan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan; kedua, kemandirian untuk merumus dan memprakarsai pembangunan daerah berdasarkan aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat; ketiga, mengakomodasi pluralitas sosio-kultur masyarakat; keempat, efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan pemerintahan bagi kesejahteraan rakyat; kelima, akses rakyat mudah dan cepat dalam penyelenggaraan pemerintahan; keenam, akuntabilitas dan resposibilitas baik pemerintah maupun rakyat. Dari uraian ide-ide di atas, timbul satu pertanyaan yang masih merupakan problem otonomi yakni jenis kewenangan yang diserahkan dan sebatas mana kewenangan itu dapat dikelolah oleh daerah otonom.
C. Dimensi Pengaturan dan Prospek Penerapan Syariat Islam di Banten
Bagaimanapun demokrasi digagas tanpa rule of the game yang menjadi bingkai perekat dari semua sendi demokrasi hanya akan berujung pada kekacauan (destructive). Oleh karena itu bentuk dari gagasan terkini tentang demokrasi adalah constitutional democracy atau rechtsstaat democratiche yakni sebuah konsep yang hendak meletakkan hukum dan demokrasi sebagai pilar utama kelangsungan negara. Secara sederhana gagasan ini mendeskripsikan manivestasi tertinggi kedaulatan rakyat berada pada Konstitusi (UUD) dan produk-produk hukum lainnya merupakan sisi-sisi dari perwujudan kedaulatan rakyat dan demokrasi. Oleh karena itu berdasarkan stuffenbau des rechts theory, produk-produk hukum yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum yang berada di atas, sebab keabsahan atau faliditas norma ditentukan oleh norma yang derajatnya paling tinggi. Kembali ke pertanyaan sebagaimana pada bagian akhir pendahuluan di atas, mungkinkah Syariat Islam diterapkan di Banten?.
Sejarah telah mencatat bahwa Banten pernah berjaya selama tiga abad yaitu mulai dari abad XV s/d abad XVIII, pada masa itu Banten merupakan salah satu pusat peradaban Islam di Indonesia dan memiliki keterkaitan yang signifikan dengan kekhalifahan ustmaniah di Turki. Saat itu Banten begitu maju dan terkenal karena ditopang dengan sistem kehidupan yang Islami. Banten juga dikenal sebagai salah satu kota Internasional yang memiliki jaringan yang sangat luas dalam aspek perdagangan. Dari Kesultanan Banten tersebut lahirlah tokoh-tokoh yang sangat disegani, seperti Sultan Maulana Hasanudin, Sultan Ageng Tirtayasa, Syech Nawawi, Sech Maulana Yusuf, KH.Wasyid, KH.Achmad Khatib dan para Ulama besar lainnya.
Menelusuri rumusan-rumusan normatif politik hukum Indonesia yang terdapat dalam UUD 1945 Pembukaan Alinea III, khususnya kata “...atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan...” merupakan landasan Konstitusional yang sangat kuat untuk menerapkan atau menjadikan Syari’at Islam sebagai bagian dari sistem hukum nasional. Keberadaan kalimat tersebut menandakan bahwa para founding Fathers dengan penuh kesadaran meyakini keberadaan campur tangan Allah Yang Maha Kuasa bagi hadirnya Negara Republik Indonesia. Keyakinan tersebut kemudian dipertegas dalam alinea keempat khususnya kalimat “...berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa...”. Selanjut dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (1) Negara Berdasarkan Atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketentuan-ketentuan tersebut disimpulkan oleh Jimly Asshiddiqie sebagai bentuk pengakuan akan kemahakuasaan Tuhan yang diwujudkan melalui kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum secara bersinergi. Akhmad Sukarja kemudian menyimpulkan bahwa kalimat-kalimat tersebut mengandung dimensi ketauhidan dan bersifat monoteisme yang terdapat konsep agama Islam. Lebih lanjut Sukarja dengan analisis historisnya mengatakan bahwa kata Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan hasil kompromi dengan kekuatan-kekuatan di luar Islam . Pendapat-pendapat tersebut diperkuat oleh Pasal 9 UUD 1945 tentang sumpah Presiden yang berbunyi “Demi Allah...” menandakan bahwa dari segi demokrasi konstitusional penerapan Syari’at Islam sangat mungkin bagi Indonesia pada umumnya dan Banten pada khususnya.
Diperhadapkan pada masalah pluralitas bangsa dengan berbagai latar belakan agama, suku, etnis dan budaya, harapan-harapan untuk menerapkan Syari’at Islam secara nasional mengalami hambatan yang cukup serius, sehingga aspek-aspek pengaturan Syari’at Islam lebih banyak muamalah. Oleh dari itu, otonomi menjadi wilayah subur untuk mengeksplorasi dan mengartikulasi pluralitas demokrasi dari berbagai latar belakang agama, suku, etnis dan budaya dalam negara kesatuan Republik Indonesia dengan beruasaha mengangkat nilai-nilai lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu ketentuan normatif bagi kehidupan demokrasi di era otonomi adalah ketentuan Pasal 18 UUD 1945 ayat (2) Pemerintahan Daerah Provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan; dan ayat (3) Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. Kemudian Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 18B tersebut, yang menjadi dasar konstitusional bagi pembentukan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa.
Menindaklanjuti ketentuan UUD 1945 di atas Pemerintah bersama DPR mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Wewenang pemerintahan daerah mencakup seluruh urusan pemerintahan kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama . Apabilah kembali ke pertanyaan “mungkinkah penerapan Syari’at Islam di Banten?, maka ada beberapa persoalan konsepsional yang harus diselesaikan terlebih dahulu;, apa yang menjadi dasar hukum pemberlakuan Syari’at Islam bagi Propinsi Banten (politik hukum), apakah merujuk kepada UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah atau Propinsi Banten sendiri menuntut otonomi khusus seperti NAD dan Papua?
Jika berdasar kepada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, khususnya menyangkut lingkup kewenangan pemerintahan daerah, maka beberapa ketentuan Syari’at Islam dapat diberlakukan tetapi terbatas pada hal-hal yang bersifat muamalah, karena apabilah mengatur masalah-masalah jinayat, posisi Perda sebagai produk hukum daerah sangat lemah dan terbatas sebagaimana ketentuan Pasal 143 ayat (2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Persoalan kemudian adalah bagaimana jika Perda menerapkan hukum rajam bagi pezina? Ketentuan itu dengan sendirinya bertentangan dengan Pasal 136 ayat (3) Perda sebagaimana ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Masalah tersebut termasuk masalah serius hari ini bagi otonomi khusus NAD. Sedangkan apabilah diarahkan pada otonomi khusus maka Banten akan mengalami perubahan struktur dan titik berat otonomi berada pada pemerintahan Propinsi. Saya pikir persoalan tidak akan selesai sampai di situ tetapi masih membutuhkan pengkajian lebih lanjut, sebab Syari’at Islam tidak hanya persoalan kaidah-kaidah normatif yang bersifat asas tetapi termasuk struktur dan prosedur bagi tegaknya Syariat Islam yang perlu disingkronisasi dengan hukum-hukum nasional lainnya, sebab bagaimanapun pikiran-pikiran tersebut masih dalam kerangka NKRI.
D. Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal antara lain: pertama, masih terdapat problem paradigma antara unifikasi dan pluralisme hukum yang hendak dibangun dalam krangka demokrasi di era otonomi; kedua, jika problem tersebut belum selesai maka Syari’at Islam yang hendak kita terapkan di daerah tercintah ini, akan menjadi Syariat setengah hati. Jika memang serius untuk menegakkan Syari’at Islam, maka melalui forum ini disarankan untuk dibentuk tim yang akan mengkaji dan merumus secara konsepsional langka-langka taktis dan strategis bagi perujudan niatan itu, semoga Allah meridhoi usaha kita.




DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Affan Gaffar, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Ahmad Sukardja, Piagam Madina dan UUD 1945; Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk, UI Press, 1995.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1997.
Jimly Asshidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2004.
Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah; Pasang Surut Hubungan Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2004.
Krisna D. Darumurti dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000.
Mohtar Mas’oed, Negara Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994.
Robert A. Dahl, Dilemmas Of Pluralist Democracy; Autonomy Versus Control, New Haven and London, Yale University Press, 1982 dan telah diterjemahkan oleh Drs. Sahat Simamora dengan judul Dilema Demokrasi Pluralis; Antara Otonomi dan Control, Rajawali Press, Jakarta, 1985.
Sarundajang S.H., Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Sinar Harapan, Jakarta, 2000.
Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, Liebe Book Press, 2004.
B. Makalah
Ali Mustafa, Potensi Banten Dalam Penerapan Syarii’ah Islam. Makalah Seminar Regional BEM Fakultas Hukum Untirta 03 Mei 2006.
C.Peraturan Perundang-undagan
Undang Undang Dasar 1945 Amandemen I, II, III, VI.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Selasa, 21 Desember 2010

PENGARUH POLITIK DALAM PEMBENTUKAN DAN PENEGAKAN HUKUM

PENGARUH POLITIK DALAM PEMBENTUKAN
DAN PENEGAKAN HUKUM


Oleh :
E.RAKHMAT JAZULI, SH.,MH

A.PENDAHULUAN
Membicarakan korelasi antara hukum dan politik merupakan kajian yang menarik di kalangan ahli hukum dan politik. Kajian ini menarik karena dua topik ini memiliki ranah yang berbeda. Hukum merupakan ranah yang nyata yang melihat sesuatu itu berdasarkan norma hukum yang mempunyai sifat pemaksaan. Hukum adalah wilayah “hitam putih” yang salah harus dihukum, yang benar harus dibebaskan bahkan mendapat penghargaan (rewards). Sedangkan politik adalah ranah “kepentingan” sebagai corestone nya, “politic is a goal attainment” politik adalah alat untuk mencapai tujuan. Politik menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan, tak peduli legal atau illegal sepanjang cara itu bisa mewujudkan tujuannya maka cara itulah yang ditempuh.
Yang menarik justru antara kedua topik yang berbeda itu ternyata mempunyai sifat yang saling mempengaruhi. Pada tataran realitas kedua topik tersebut kadang-kadang menunjukkan bahwa hukum dapat mempengaruhi politik atau sebaliknya politik dapat mempengaruhi hukum. Moh Mahfud MD mengemukakan tentang hal tersebut bahwa terdapat tiga macam jawaban untuk melihat hubungan antara hukum dan politik. Pertama, hukum merupakan determinan politik, kegiatan politik harus tunduk pada hukum, Kedua, pandangan yang melihat bahwa politik determinan atas hukum karena sesungguhnya hukum adalah produk politik yang sarat dengan kepentingan dan konfigurasi politik, dan ketiga pandangan yang melihat bahwa hukum dan politik merupakan dua elemen subsistem kemasyarakatan yang seimbang, karena walaupun hukum merupakan produk politik maka ketika ada hukum yang mengatur aktivitas politik maka politikpun harus tunduk pada hukum.
Ketiga macam jawaban di atas adalah bangunan teori yang dibangun berdasarkan realitas relasi antara dua sistem tersebut. Pada kesimpulan akhir tulisanya Mahfud MD menyimpulkan bahwa sesungguhnya politik determinan atas hukum, hukum yang lahir merupakan cerminan konfigurasi politik. Dalam hubungan tarik menarik antara hukum dan politik maka sesungguhnya politik mempunyai energi yang cukup kuat untuk mempengaruhi hukum. Asumsi dasar tadi memperlihatkan bahwa dalam konfigurasi politik yang demokratis maka yang lahir adalah produk hukum yang responsif/populistik, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang konservatif /ortodoks dan elitis.
Hasil analisisnya terhadap produk hukum yang lahir selama tiga periode pemerintahan di Indonesia menguatkan argumentasinya itu. Konfigurasi politik periode tahun 1945-1959 dianggap sebagai sistem politik yang demokratis yang ditunjukan oleh
1. Partai-partai sangat mempengaruhi arah perjalanan Negara melalui Badan Perwakilan rakyat
2. Eksekutif berada pada kondisi yang lemah,sering jatuh bangun karena mosi partai
3.Kebebasan pers lebih terjamin, peraturan tentang prembedelan dan sensor yang merupakan warisan Belanda dicabut.
Karena konfiguari politiknya demokratis maka produk hukum yang lahir adalah hukum yang responsif dan populis. Konfigurasi politik pada tahun 1959-1966 adalah demokrasi terpimpin. Pada periode ini praktis dikatakan tidak ada kehidupan demokrasi malah, sebaliknya yang lahir adaah rezim otoriter. Kondisi politik pada masa ini merupakan kondisi kontras dengan kondisi politik sebelumnya, pada masa ini kedudukan partai politik sangat lemah yang terjadi konflik kepentingan antara Soekarno, PKI dan Angkatan Darat, kedudukan Presiden sangat kuat bahkan merangkap ketua DPA yang bertugas memberikan penyeleksian terhadap setiap Undang-undang yang akan dilahirkan dan Pers tidak diberikan kebebasan/dikungkung. Ciri hukum yang menonjol pada periode ini adalah hukum yang bercorak ortodoks/konservatif. Undang-undang dibidang politik tidak pernah dilahirkan implikasinya Pemilu tidak pernah dilaksanakan.
Pada masa orde baru (1966-1999) dipandang sebagai rezim yang menjalankan demokrasi Pancasila tetapi sesungguhnya itu hanya topeng untuk tidak melaksanakan demokrasi yang sebenarnya. Kehidupan politik yang senyatanya terjadi adalah politik yang non-demokratis yang ditunjukan dengan pengangkatan anggota legislatif oleh pemerintah tanpa melalui proses Pemilihan, kepanitiaan Pemilu dari pemerintah yang tidak “netral” cenderung mendukung partai yang berkuasa dan adanya lembaga recall terhadap anggota Dewan yang kritis terhadap pemerintah. Implikasinya dalam proses pembentukan hukum adalah lahirya produk hukum yang konservatif dan ortodoks.
Uraian di atas memperlihatkan betapa politik sangat mempengaruhi proses pembentukkan hukum. Hukum seolah-olah tidak memperlihatkan cirinya yang bersifat netral dan mencerminkan keinginan bersama orang yang diaturnya. Maka tepatlah tesis yang dilontarkan oleh para penganut aliran studi hukum kritis (critical legal studies) bahwasanya hukum itu tidaklah “netral” atau “bebas nilai”. Sesungguhnya dibalik peraturan hukum yang tertera dalam bentuk Undang-undang itu mencerminkan kepentingan pihak tertentu dan biasanya kepentingan penguasa.
B. PENGARUH POLITIK TERHADAP PEMBENTUKAN SUBSTANSI HUKUM PASCA REFORMASI
Dengan asumsi teoritis di atas kita ingin melihat bagaimana keadaan determinasi politik terhadap pembentukan hukum dan penegakkan hukum pasca reformasi. Reformasi yang disuarakan mahasiswa sejak tahun 1998 mengusung reformasi sistem hukum sebagai agenda utamanya. Dua komponen sistem hukum yang paling penting dalam melihat pembentukan sistem hukum pasca reformasi adalah aspek substansi dan struktur hukum. Dari sisi kehidupan demokratisasi pasca reformasi menunjukkan kehidupan demokrasi yang relatif sedikit lebih baik dari masa sebelumnya. Pemilu pada tahun 1999 sedikit memberikan harapan terlaksananya demokrasi di Indonesia dengan baik, kepanitiaan PEMILU tidak lagi berasal dari pemerintah yang dapat mencegah/ menjegal partai tertentu sebagai kontestan PEMILU, justru pada pemilu 1999 menunjukkan pertumbuhan fantastis partai-partai baru. Ada 48 partai baru yang terbentuk, kebebasan pers dibuka selebar-lebarnya tidak ada lagi lembaga yang namanya SIUPP dan pemberedelan terhadap media yang kritis kepada pemerintah, anggota legislatif tidak lagi merupakan orang-orang pilihan pemerintah walaupun TNI/POLRI masih menjadi salah satu kekuatan politik di Parlemen. Lembaga recall dicabut. Pemilu 2004 menunjukkan kualitas kehidupan demokrasi dan politik yang lebih demokratis, perwakilan TNI/POLRI di parlemen ditiadakan sama sekali.
Apakah ada implikasinya terhadap pembentukan hukum ? menjawab pertanyaan ini baiknya kita menginventarisir beberapa perturan perundang-undangan yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan politik yang demokratis di Indonesia. Undang-undang Pemilu tahun 1999 dan 2004 relatif memiliki muatan demokratis dimana semua orang diberikan kebebasan untuk mendirikan Partai politik dan kebebasan untuk memilih warga negara yang lebih terjamin. Walaupun demikian masih terdapat kelompok masyarakat tertentu yang hak memilihnya dan dipilihnya belum diakui secara penuh oleh negara karena sejarah kelam mereka terhadap NKRI. Mantan Tahanan politik/Narapidana politik Gerakan 30/S PKI masih belum diakui oleh Negara eksistensi dari mereka untuk dipilih atau bahkan terlibat dalam pemerintahan. Hal ini menyisakan masalah tersendiri dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Tuntutan reformasi menghendaki agar semua warga Negara diberikan hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu sementara pemerintah masih melarang hak mantan NAPOL dan TAPOL untuk dipilih dengan alasan masyarakat secara sosiologis masih belum bisa menerima pengehianatan yang dilakukan oleh pendukung PKI.
Ratifikasi terhadap kovenan hak sipil dan politik juga membawa angin segar terhadap kehidupan politik di Indonesia melalui UU No.12 tahun 2005. Ketentuan Pasal 25 Kovenan hak sipil dan politik mengharuskan Negara untuk mengatur dalam undang-undang pemilunya hak warga Negara untuk dipilih dan memilih tanpa terkecuali atau tidak diskriminasi. Dosa masa lalu para napol/tapol PKI tidak lagi dijadikan alasan bagi mereka untuk dihalangi haknya untuk memilih dan dipilih. Begitu pula Undang-undang pemilu dan parpol yang sedang digodok di DPR harus mengakomodir ketentuan Pasal 25 dalam mengatur masalah pemilu di Indonesia.
Produk hukum yang lain yang dapat dijadikan tolok ukur pengaruh rezim pemerintahan yang demokratis terhadap produk hukum adalah masalah kebebasan Pers dan pemerintahan daerah. Pasca reformasi praktis kebebasan pers diberikan kebebasan yang sangat luas. Berlakunya Undang-undang tentang PERS tahun 1999 membuka kran kebebasan pers di Indonesia. Untuk mendirikan media cetak sekarang tidak dibutuhkan lagi SIUPP sebagaimana yang dipersaratkan sebelumnya, bahkan departemen Penerangan yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi Pers pada rezim orde baru dihapuskan statusnya. Tidak ada lagi upaya pembredelan dari pemerintah terhadap Pers. Hal ini mendorong tumbuhnya media-media cetak maupun elektronik bak “jamur di musim hujan”.
Di bidang pemerintahan daerah juga mengalami kemajuan berarti. Lahirnya Undang-undang Nomor.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor.32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan pada asas otonomi yang seluas-luasnya dan tugas pembantuan (medebewind). Kedua undang-undang ini merupakan jawaban atas tuntutan politik elemen masyarakat daerah untuk menjalankan pemerintahannya sesuai dengan kondisi dan keadaan daerahnya masing-masing. Penyelenggaraan pemerintahan di daerah ini sangat kontras dengan kondisi pemerintahan daerah sebelumnya yang diatur dalam UU No.5 tahun 1974 tentang Pemerintahan daerah yang mengedepankan pengawasan dan pengaruh pusat yang sangat kuat (sentralistik).
Penyelenggaraan pemerintahan pada era reformasi menunjukkan sifat pemerintahan yang demokratis dimana keterlibatan rakyat dalam pemerintahan sangat menonjol. Dengan mengikuti analisisnya Mahfud MD maka hukum yang lahirpun harusnya adalah hukum yang responsif dan populis. Beberapa produk hukum yang dihasilkan pada masa reformasi menunjukkan bahwa produk hukum di bidang politik yang lahir adalah hukum yang relatif responsif.

C. PENGARUH POLITIK TERHADAP PENEGAKKAN HUKUM.
Isu lain yang menarik dikaji dalam hubungan antara hukum dan politik adalah pengaruh politik terhadap penegakan hukum. Kedua topik ini kadangkala mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi. Politik merupakan ranah kekuasaan, kekuasaan itu bersumber dari wewenang formal yang diberikan oleh hukum. Hukum adalah naorma sosial yang mempunyai sifat mendasar yaitu sifatnya yang memaksa yang membedakanya dengan norma sosial yang lain (agama, kesopanan dan susila ). Karena sifatnya yang harus dipaksakan berlakunya maka hukum memerlukan kekuasaan (politik) untuk dapat berlaku dengan efektif. Mochtar Kusumaatmadja menyimpulkan bahwa hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaanya sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Bahkan dalam slogan umum menggambarkan bahwa “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.
Menurut Purnadi Purbacaraka penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan yang mantap dalam sikap tindak sebagai penjabaran nilai akhir untuk menciptakan (social engineering) dan mempertahankan (social control) kedamaian pergaulan hidup. Penegakkan hukum merupakan konkritisi norma hukum dalam kasus nyata. Dalam proses penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto terdapat empat elemen penting yang harus terlibat. Pertama, hukum atau aturan itu sendiri, Kedua Mental aparat hukum, ketiga fasilitas pelaksnaan hukum, dan kesadaran dan kepatuhan perilaku masyarakat.
Dalam kaitannya dengan penegakkan hukum Mahfud MD mengemukakan pendapat yang hampir sama antara pengaruh politik terhadap pembentukkan hukum dengan pengaruh politik teradap penegakkan hukum. Negara dengan sistem politik yang demokratis cenderung melahirkan sistem penegakkan hukum yang efektif sedangkan, Negara dengan sistem politik yang otoriter akan melahirkan sistem penegakkan hukum yang tersendat.
Berdasarkan landasan teoritis di atas penulis hendak menganalisis proses penegakan hukum di Indonesia dalam hubunganya dengan politik pada era reformasi. Sedikit merujuk ke belakang bahwa pada rezim orde baru menunjukan sistem politik yang tidak demokratis, ini berimplikasi pada proses penegakan hukum yang buruk. Mafia peradilan merupakan cerminan dari proses penegakan hukum selama masa itu. Apakah ada perubahan penegakkan hukum setelah bergulirnya reformasi ? dari sisi undang-undang memang banyak Undang-undang yang lahir setelah reformasi tapi belum mencerminkan substansi hukum yang memang mengandung nilai filosofis yang memuat keadilan. Undang-undang Minyak dan Gas Bumi tahun 2001 seolah menunjukan kuatnya pengaruh kepentingan asing untuk menguasai SDA Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang penambangan di hutan lindung juga “setali tiga uang” dengan UU Migas sarat dengan kepentingan asing atas SDA Indonesia dan mengabaikan kepentingan mayoritas masyarakat.
Dari sisi perilaku penegakkan hukum masih menunjukkan sikap yang sama dengan mental penegak hukum pada zaman orde baru. Praktek mafia peradilan yang melibat aparat penegak hukum seolah menunjukan kondisi yang tersistematis. Hampir semua lini instansi penegak hukum (Kepolisisan, Kejaksaan, Pengadilan sampai Mahkamah Agung dan advokat) terjangkit firus Mafia Peradilan.
Di samping itu praktek diskriminasi dalam Penegakan hukum masih mewarnai penegakkan hukum di Indonesia. Bukan rahasia lagi para pejabat yang memangku jabatan tertentu sulit terjangkau oleh hukum. Praktek korupsi yang melibatkan pejabat Negara yang menjadi perhatian masyarakat seolah tidak pernah disentuh hukum. Mereka bebas menikmati uang hasil korupsinya di tengah kesengsaraan masyarakat yang hidup serba kesusahan. Kasus korupsi di KPU pusat adalah contoh bagaimana hukum itu “pandang bulu” hukum tidak bisa menyentuh pejabat Negara yang sedang memangku jabatan dan dekat dengan lingkaran kekuasaan. Bayangkan jika koruptor adalah pejabat yang tidak masuk dalam lingkaran kekuasaan maka hukum akan berbicara dan segera mengadili sang koruptor. Penegakkan Hukum di Indonesia ibarat “ pisau” tajam ke atas dan tumpul ke bawah. Hukum akan tegak kalau mengahadapi masyarakat kecil dan akan lentur ketika mengahadapi pemegang kekuasaan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa politiklah yang akan memberi arah penegakkan hukum. Jika pemerintah memiliki kemauan politik (political will) yang baik dalam menegakkan hukum maka hukum dapat ditegakkan dengan baik. Jika penguasa tidak memiliki kemauan politik untuk menegakkan hukum, maka hukum kecil harapan untuk menegakkan hukum dengan baik. Sejatinya hubungan antara penegakan hukum dan politik menurut Sri Soemantari adalah ibarat rel dan kereta api. Relnya adalah hukum dan keretanya adalah politik. Jika kereta keluar dari relnya maka kecelakaanlah yang terjadi, jika politik keluar dari ketentuan hukum maka kehidupan politik akan “chaos”.

D.PENUTUP

Proses pembentukan hukum dan penegakan hukum ternyata sangat dipengaruhi oleh situasi politik. Politik dengan corak otoriter mempengaruhi produk hukum yang konservatif dan ortodoks dan melahirkan penegakkan hukum yang tidak baik. Sebaliknya politik yang demokratis melahirkan produk hukum responsif dan penegakan hukum yang baik. Tesis tersebut terbukti pada praktek pembentukkan dan penegakkan hukum di Indonesia. Namun demikian pada era reformasi dengan sistem pemerintahan yang lebih demokratis ternyata belum berhasil menghasilkan hukum yang mengandung nilai keadilan dan diperuntukan bagi kesejahteraan masyarakat.
Pada tataran penegakan hukum juga ambivalen dengan tesis di atas. Pemerintahan yang lebih demokratis pada era reformasi belum mampu menghasilkan penegakan hukum yang baik. Praktek diskriminasi dalam penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan korupsi masih menjadi kenyataan yang tidak terbantahkan dalam penegakan hukum di Indonesia. Pengaruh intervensi politik dalam penegakan hukum menjadi hambatan besar dalam penegakan hukum di Indonesia. Sejatinya penegakan hukum harus lepas dari intervensi kekuatan politik tertentu. Justru kekuatan politik pemerintahan yang demokratis seharusnya menjadi amunisi dalam penegakan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Gunawan BS dan Mu’amar Ramadhan, Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006

Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005

-------------------, Sembilan Prinsip Konstitusionalisme Indonesia di Masa Depan, Makalah pada seminar yang diselenggrakan IKatan Alumni FH-UI di Jakarta pada tanggal 19 0ktober 2003

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2003

Muladi, Pancasila Sebagai Margin Of Apprepration Dalam Hukum Yang Hidup Di Indonesia, terkutip dalam Ahmad Gunawan BS dan Mu’amar Ramadhan, Menggagas Hukum

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cetakan ke-2 Pustaka LP3ES, Jakarta, 2001

_____________, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1994

Munir Fuady, Filsafat dan Aliran Hukum PostModern, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005

Purnadi Purbacaraka, Penegakkan Hukum dalam Mensusken Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977

Roberto M Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, ELSAM, Jakarta, 1999

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1994

Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, BPHN,Jakarta, 1983

Minggu, 19 Desember 2010

SEBUAH TINJAUAN TERHADAP KONSEPSI DAN NILAI
DASAR HAK ASASI MANUSIA SERTA IMPLEMENTASINYA
Oleh, E.Rakhmat Jazuli,SH.MH

A.Pendahuluan
Isu hak asasi manusia merupakan salah satu isu utama yang dihadapi bangsa-bangsa dewasa ini, selain isu globalisasi dan lingkungan. Tidak mengherankan jika masalah hak asasi manusia menjadi salah satu isu utama umat manusia sekarang ini karena banyaknya tuntutan masyarakat terhadap perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia oleh Negara. Isu hak asasi manusia tidak lagi menjadi isu lokal sebuah negara tetapi sudah menjadi isu global. Berbagai konferensi internasional diadakan oleh masyarakat internasional yang diadakan oleh organisasi antar pemerintah (inter government organization) maupun organisasi bukan pemerintah (Non Government organization) diadakan bertujuan meningkatkan perlindungan dan penghormatan terhadap HAM. Masalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh sebuah Negara tidak lagi menjadi isu nasional sebuah Negara tetapi, sudah menjadi isu internasional.
Walaupun persolan HAM sudah menjadi isu internasional namun, dalam kenyataanya tidak ada kesepakatan yang sama Negara-negara tentang HAM. Negara-negara dengan dalih berlindung di balik kedaulatannya tidak menghendaki adanya internasionalisasi pelanggaran HAM di negaranya. Masalah HAM dianggap sebagai masalah dalam ‘rumah tangga’ sebuah Negara, maka tidak sepatutnya jika Negara lain ikut campur urusan dalam negeri sebuah Negara.
Dalam konteks Indonesia tuntutan terhadap perlindungan dan penghormatan terhadap HAM meruapakan salah tuntutan reformasi yang harus dikonkritkan dalam kebijakan-kebijakan nyata pemerintah. Semenjak bergulirnya reformasi tahun 1998 isu ini menjadi agenda utama perubahan mendasar dalam kehidupan kenegaraan. Tuntutan terhadap perlindungan dan penghormatan terhadap HAM merupakan hal yang wajar lahir dari rakyat karena nyaris dipastikan bahwa selama orde baru berkuasa nyaris HAM dipandang sebelah mata, kalau tidak dikatakan sering dilanggar oleh Negara. Banyak sudah bukti-bukti nyata pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara baik yang berhubungan dengan HAM sosial dan politik (sipol) maupun hak ekonomi, sosial dan budaya warga Negara. Bahkan ketika perjuangan reformasi isu pelanggaran HAM mewarnai perjuangan mahasiswa, mereka bahkan diindikasikan sebagai korban pelanggran HAM oleh Negara. Karena pelanggaran pulalah Indonesia menjadi perhatian masyarakat internasional, kasus pelanggaran pelanggaran HAM di Timor-timur dan kasus Trisakti sempat mencoreng muka Indonesia di dunia internasional. Dewan HAM PBB sempat mengusulkan agar diadili pengadilan HAM internasional Ad Hoc untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM di Timor-timor.
Tuntutan terhadap HAM juga mewarnai proses perubahan konstitusi Indonesia. Amandemen UUD 1945 disamping menata kembali sistem ketatanegaraan kita juga diilhami oleh adanya tuntutan untuk memasukan aspek HAM dalam UUD 1945 agar Negara mengakui secara de facto dan de jure terhadap eksistensi HAM dalam kehidupan bernegara.
B.TINJAUAN KONSEPTUAL HAM
Memandang HAM sebagai suatu hak yang dimiliki setiap manusia sesungguhnya dapat dilihat dengan berbagai konsep yang berbeda. Konsep agama, memandang bahwa HAM merupakan hak yang diberikan Tuhan kepada hambanya yang telah diciptakan-NYA karenanya eksistensi HAM tidak tergantung pada diakui atau tidak diakui oleh manusia tetapi manusia itu telah dijamin oleh tuhan keberadaan dan kematianya. Dalam Islam misalnya memandang bahwa Manusia merupakan makhluk ALLAH yang telah dimuliakan ALLAH dan diberikan kelebihan dengan makhluk Allah yang lainya (Q.S.17:70). Di samping itu Al-qur’an memandang bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna (Q.S :95 : 8). Dengan demikian diakuinya hak asasi manusia tidak ditentukan oleh pemerintah dalam bentuk pengaturan secara formil dalam Undang-undang tetapi telah diakui oleh ALLAh sebagai pencipta mansuia itu sendiri, dengan demikian tidak ada alasan bagi manusia, pengusa sekalipun untuk melanggar atau tidak menghormati HAM.
Konsep kedua memandang bahwa untuk dapat menjalani kehidupan yang mengandung nilai kemanusiaan maka diperlukan syarat obyektif untuk eksistensi manusia sebagai makhluk jika tidak dipenuhi persyatan itu maka makhluk yang namanya manusia akan musnah dan tidak lagi disebut manusia. Pandangan ketiga memandang bahwa hukum kodrati (hukum alam) menyatakan bahwa manusia memerlukan adanya hak-hak yang sudah diakui secara kodrati yang telah ada sebelum hukum positif ada, hak-hak secara kodrati itulah yang dianggap sebagai hak asasi manusia.
Dari pandangan itu semua ternyata ada satu kesepahaman bahwa yang terpenting dalam memandang konsep HAM yaitu merupakan perwujudan dari fitrah manusia yang diciptakan oleh Tuhanya. Secara kodrati manusia mempunyai sifat yang melekat secara alami. HAM yang melekat pada manusia meruapakan hak yang bersumber pada dari tuhan sebagai dzat yang mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi. Hak asasi bahkan lebih dahulu ada sebelum adanya organisasi kekuasaan yang bernama Negara (state). Dengan demikian bila telususri filosofis sejatinya tidak ada hak penguasa yang terhimpun dalam Negara untuk mencabut atau sekedar mengurangi HAM karena kedudukanya HAM yang lebih tinggi ketentuan Tuhan.
Dalam konteks hubungannya dengan hukum, HAM bahkan tidak dianggap sebagai sumber dari adanya hak asasi manusia, hukum hanya mengukuhkan adanya hak yang telah diberikan Tuhan itu, sebaliknya hukum tidak bisa menghapus adanya hak yang ditentukan tuhan. Hukum diperlukan untuk proses penegakan HAM. Hukum dijadikan sebgai sarana mengatur penggunaan HAM agar tidak terjadi chaos dalam penggunaan HAM. Kemungkinan tumpang tindih dalam penggunaan HAM merupakan suatu kemungkinan yang sangat bisa terjadi maka hukum hadir untuk mengatur agar terjadi kondisi tertib, teratur serta harmonis dalam peggunaan HAM itu.
Walaupun secara konseptual HAM telah diterima sebagai Hak yang melekat pada manusia, namun terdapat pandangan konsptual yang berbeda tentang HAM. Prof. Muladi melihat ada empat pandangan tentang HAM yang berkembang. Pertama pandangan yang melihat sebagai konsep yang universal absolut. Pandangan ini melihat bahwa HAM merupakan nilai-nilai yang universal, perbedaan budaya, tradisi dan agama tidak dapat dijadikan sebagai alas an untuk tidak berlakunya HAM internasional yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Right, 1948. Kedua, pandangan universal relatif, memandang bahwa HAM tetap bersifat universal tetapi tetap mengakui adanya pengecualian-pengecualian oleh negara terhadap berlakunya HAM Internasional. Ketiga, partikularistik absolute yakni pandangan yang melihat bahwa HAM merupakan persoalan internal masing-masing negara bukan urusan negara lain, dan Keempat pandangan yang melihat bahwa HAM bersifat partikularistik relative memandang HAM merupakan persoalan universal di samping juga masalah masing-masing negara.
C.KANDUNGAN NILAI DASAR HAM
Sebagai sesuatu yang telah ditentukan Tuhan dan merupakan kodrat manusia untuk adanya hak bagi manusia, HAM mengandung nilai-nilai dasar yang sangat fundamental. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam HAM merupakan wujud konkretisasi sifat kodrati manusia, manusia tidak mungkin bisa eksis sebagai manusia jika hak itu dicabut oleh penguasa. Kebutuhan manusia untuk adanya kehidupan maka hak hidup (right to life) ditentukan oleh Tuhan dan dilindungi oleh hukum. Karena secara kodrati penyiksaan merupakan suatu perbuatan yang dapat menghilangkan fungsi manusia sebagai makhluk Tuhan maka manusia diberikan hak untuk bebas dari penyiksaan (right to free from torture), penguasa sekalipun tidak diberikan hak untuk menyiksa manusia. Juga merupakan suatu kodrat manusia dan diberikan oleh Tuhan bahwa manusia menghendaki untuk hidup bebas tanpa tunduk kepada manusia yang lain, oleh karena itu Tuhan melarang adanya penguasa atau manusia memperbudak manusia yang lain (right to be free from slavery). Begitu pula hak yang lain: hak bebas dari penahanan karena hutang, hak bebas untuk tidak dihukum dengan hukum yang berlaku surut, hak sebagai subjek hukum dan hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama. Jika terjadi pelanggaran atau pengurangan terhadap pelaksanaan oleh penguasa atau siapapun terhadap eksistensi hak tersebut terhadap manusia maka eksistensi dia sebagai manusia tidak ada lagi. Oleh karena itu kedelapan macam hak tersebut masuk dalam kelompok hak yang tidak bisa ditangguhkan atau ditanggalkan pelaksanaanya (non derogable right) oleh penguasa dalam kondisi bagaimanapun (perang atau damai). Jika ada Negara yang tidak melaksanakan atau mengurangi hak warga negaranya maka dipastikan Negara ini telah melakukan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia (gross violation of human right).
Walaupun diakui adanya hak-hak yang tidak bisa dikurangi (non derogabale right), disamping itu diakui pula adanya hak bisa dikurangi oleh penguasa (derogable right). Hukum memberikan kelonggaran kepada Negara untuk menangguhkan pelaksanaan hak atas kebebasan berkumpul secara damai, hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh dan hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas. Penyimpangan untuk tidak memenuhi hak-hak tersebut dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman dan tidak diskrimanatif. Dua kondisi yang harus dipenuhi untuk dapat menangguhkan pelaksanaan hak tersebut. Pertama, menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau morlitas umum dan, kedua, menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Pelaksanaan hak asasi manusia dapat dikurangi jika hak tersebut bertentangan dengan moralitas umum dan menghormati hak atau kebebasan orang lain. Kedua kondisi tersebut mencerminkan keseimbangan antara pelaksanaan hak asasi manusia yang telah diakui oleh Negara dalam rangka penegakanya dan pemenuhan kewajiban asasi manusia di sisi lain. Kewajiban asasi manusia untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain dan kewajiban untuk tidak melaksnakan haknya yang dapat bertentangan moralitas umum yang diakui oleh mayoritas masyrakat.
D.ASPEK IMPLEMENTASI HAK ASASI MANUSIA
Walaupun hak asasi manusia telah diakui secara konsepsional dan secara yuridis telah diakui dalam norma hukum positif, yang lebih penting dalam penghormatan dan penegakan HAM adalah implementasi dari hak yang ditentukan oleh Tuhan dan diakui oleh hukum. Implementasi dalam artian melaksnakan HAM yang telah ditentukan dalam hukum positif menjadi hak-hak yang dihormati dan dilindungi Negara.
Dalam hukum positif, kita hak asasi manusia telah diatur dalam UUD 1945 yang telah diamandemen. Pengaturan HAM dalam konstitusi memberikan bukti adanya perlindungan dan penghormatan HAM oleh Negara. Pemerintah wajib melaksanakan seluruh ketentuan yang telah diatur oleh konstitusi. Dalam Undang-undang No.39 tahun tahun 1999 tentang HAM telah mengatur secara lebih rinci tentang pengakuan dan eksistensi HAM dalam hukum nasional. Undang-undang Nomor.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengukuhkan kembali aspek perlindungan dan penghormatan HAM. Kejahatan kemanusiaan (crime agains of humanity) dan kejahatan genosida telah menjadi yurisdiksi pengadilan HAM.
Pada tahun 2006 kita telah menorehkan sejarah perlindungan dan penghormatan HAM. Kita telah mengikatkan diri pada dua perjanjian internasional yang mengatur HAM yaitu Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dengan UU No.11 Tahun 2006 dan Kovenan Hak Sipil dan Politik dengan Undang-undang Nomor.12 Tahun 2006. Ratifikasi dari dua Undang-undang ini menurut hemat kami mengandung dua implikasi yuridis: Pertama, kewajiban kita untuk mengimplementasikan ketentuan yang terdapat dalam konvensi tersebut dalam ketentuan Perundang-undangan nasional. Ketentuan UU yang berkaitan dengan hajat hidup masyarakat harus merujuk pada kedua Undang-undang ini (terutama UU di bidang politik dan ekonomi). Undang-undang yang paling signifikansi untuk diharmonisasikan dengan kedua konvensi tersebut adalah UU No.39 tahun 1999 tentang HAM. UU ini harus mengandung norma-norma yang terdapat dalam kedua kovenan tersebut. Kedua, kewajiban untuk merealisasikan isi konvensi tersebut. Suka atau tidak suka pemerintah harus merealisasikan kewajibannya yang telah ditentukan dalam Konvensi. Hak-hak yang terkandung dalam Hak sipil dan politik menghendaki agar peranan pemerintah diminimalisir sekecil mungkin (negative right) sedangkan hak sosial ekonomi social dan budaya menghendaki peranan pemerintah yang lebih dominan . Apakah pemerintah kita sudah siap melaksanakan kewajiban dan konsekuensi yang lahir dari kovenan ini dengan melihat kondisi kita yang masih diselimuti krisis multi-dimensi seperti ini. Atau justru pemerintah dengan dalih kondisi kita yang sedang tidak stabil sekarang ini dijadikan alasan untuk tidak melaksnakan kewajiban-kewajibanya yang lahir dari konvensi ini.
Secara yuridis formal kita memang telah memiliki perangkat yuridis yang mengatur HAM. Namun dalam tataran pelaksanaan mungkin masih jauh dari harapan. Aspek yang paling utama yang menjadi sorotan masyarakat baik dalam tingkat nasional maupun internasional adalah mengadili para pelaku pelanggaran HAM masa lalu. Kasus pelanggaran HAM Timor-timur masih menyisakan masalah di tingkat internasional, bahkan komisi ahli PBB berencana akan menyelidiki tentang terjadinya pelanggaran HAM di PBB, padahal kita telah membentuk pengadilan HAM Ad hoc untuk itu, namun tetap dianggap sia-sia oleh dunia internasional. Konsep penyelesaian masalah dua bangsa dengan membentuk Komisi Kebebanaran dan Persahabatan (KKP) diharapkan dapat menepis anggapan ketidakseriausan Indonesia dalam mengadili para pelaku pelanggaran HAM di mata dunia internasional. Namun semua ini sangat tergantung pada keseriusan dan itikad baik dari kedua Negara untuk menyelesaikan masalah ini dengan serius dan itikad baik.
Kasus Trisakti juga masih menjadi masalah tersendiri dalam sejarah pelanggaran HAM di negeri ini, sampai sejauh ini polemik untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM. Lempar tanggung jawab antara Kejaksaan Agung dan DPR merupakan fakta bagaimana susahnya membentuk Pengadilan HAM di negeri ini. Kepentingan politik dan tidak adanya kemauan politik pemerintah menjadi faktor penghambat terselesaikan kasus pelanggaran HAM. Di sisi lain tuntutan dan protes dari keluaraga korban dan LSM terus saja bergema. Secara tidak langsung kondisi ini akan merusak citra penegakan HAM di Indonesia dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi institusi HAM dan Pengadilan HAM di Indonesia. Kondisi ini memang tidak match antara dua kondisi HAM yang diidamkan dan relaita implementasi perlindungan HAM yang ada.
Dibatalkanya Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) menyisakan masalah tersendiri dalam konteks penegakan HAM. Praktis tidak ada lagi yang institusi yang bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu di bumi pertiwi ini. Padahal sedianya KKR diharapkan dapat berperan aktif sebagai komisi yang dapat dipercaya menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia. Tidak ada jalan lain menurut hemat kami solusi yang terbaik untuk menyelesaikan masalah dibatalkanya KKR adalah membentuk Undang-undang baru yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak terutama kepentingan korban pelanggran HAM lalu.
E.PENUTUP
Secara konseptual HAM telah diterima sebagai norma yang telah ditetapkan oleh Tuhan dan diakui oleh hukum sebagai proses menegakan hak itu. HAM telah diatur dalam berbagai bentuk perundang-undangan yang mengadung nilai dasar adanya keseimbagan antara pelaksanaan HAM da kewajiban asasi manusia. Penggabungan dua dimensi HAM ini mencerminkan aspek keseimbangan yang diemban oleh nilai-nilai dasar HAM. Walaupun HAM secara konsepsional telah diakui dan mengandung nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya dalam tataran implemetasi HAM masih menyisakan berbagai permasalahan serius yang dihadapi bangsa ini. Tidak ada jalan lain untuk merubah kondisi ini kecuali adanya kemauan politik dari pemerintah untuk meresalisasikan hak-hak yuridis masyarakat dalam kehidupan nyata. Semoga… !

DAFTAR PUSTAKA
Dadang Juliantara, Jalan Kemanusiaan : Panduan untuk memperkuat Hak Asasi Manusia, LAPERA Pustaka Utama, Yogyakarta, 1999
Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus (editor), Hak Ekonomi, Sosila, dan Budaya , Buku 2, ELSAM, Jakarta. 2001
Ifdhal Kasim (editor ), Hak Sipil dan Politik : Esai-esai Pilihan, Buku 1, ELSAM, Jakarta, 2001
Jawahir Thontowi, Hukum Internasional di Indonesia : Dinamika dan Impelementasinya dalam Beberapa Kasus Kemanusiaan, Madyan Press, Yogyakarta, 2002
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2003
-----------, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi: Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Konstitusi Press, Jakarta, 2005

Jumat, 17 Desember 2010

Pilkada dan Demokratisasi Pemerintahan

PILKADA DAN DEMOKRATISASI PEMERINTAHAN
Oleh: E.Rakhmat Jazuli.SH.MH.®

Pendahuluan
Pilkada dan demokratisasi pemerintahan merupakan satu mata rantai yang tidak dapat diputuskan oleh situasi apapun, hal ini dikarenakan lahirnya proses pilkada merupakan perwujudan dari demokratisasi pemerintahan daerah, artinya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang didasarkan pada atribusi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Amandemen yang menyatakan "Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis". Ketentuan ini kemudian melahirkan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan melahirkan satu rangkaian proses demokratisasi pemerintahan daerah, yaitu penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan dengan cara otonomi seluas-luasnya.
Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi luas adalah daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Oleh karena itu daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.Adanya kewenangan yang sangat luas yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah telah menuntut kepada daerah untuk berkewajiban mensejahterakan masyarakat daerahnya sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Oleh karena itu hakekat otonomi tidak hanya sekedar pengalihan kewenangan penyelenggaraaan pemerintahan daerah, tetapi merupakan satu kewajiban yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mendekatkan simpul-simpul pemerintahan dengan rakyatnya agar lebih sejahtera, artinya pilkada tidak hanya merupakan demokrasi formal minimalis ala Schumpter, tetapi harus menyentuh subtansi demokrasi yang mengedepankan kesejahteraan rakyat (demokrasi maksimalis) .

Pilkada Tidak Hanya Pesta Demokrasi Rakyat Di Daerah

Pilkada memang merupakan pesta demokrasi, tetapi tidak sekedar pesta demokrasi yang hanya sampai pada proses terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah. Lebih jauh pilkada adalah start dari sebuah demokratisasi pemerintahan di daerah oleh karena itu pilkada harus diawali dengan proses-proses demokrasi yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pemerintahan daerah setempat tidak hanya kepentingan untuk mendapatkan kekuasaan menjadi seorang kepala daerah. Satu hal yang perlu dicermati dari hakekat demokratisasi pemerintahan adalah mendekatkan simpul-simpul penyelenggaraan pemerintahan dengan rakyat sehingga aspirasi masyarakat akan lebih terakomodir dan terlealisasi untuk kesejahteraan rakyat.
Pilkada dalam persfektif demokratisasi pemerintahan, merupakan satu proses awal dimana masyarakat dapat mengenal dan memahami sejauh mana karekteristik calon kepala daerah dalam memahami nilai-nilai pemerintahan daerah setempat, yang kemudian apabila dia terpilih nilai-nilai daerah tersebut dapat diaplikasikan dalam bentuk program kerja yang akan meningkatkan dan bermanfaat bagi taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat didaerahnya. Sehingga apabila hakekat Pilkada dipahami sebagai satu proses demokratisasi pemerintahan, akan terhindar dari satu propaganda black campaign yang dikeluarkan dalam bentuk saling menjatuhkan rival politik dalam pilkada dan akhirnya berujung pada permasalahan yang akan menodai proses-proses demokrasi.
Pilkada harus menjadi ajang pertarungan visi, misi, serta karekteristik dari calon-calon pemimpin bangsa yang telah mapan baik dalam proses pendewasaan politik, intelektual, moral dan agama, karena harus kita pahami bahwa para calon-calon pemimpin bukanlah seorang pemimpi yang menjual khayalan dan omongan kosong belaka, tetapi pemimpin itu adalah orang yang harus mampu memberikan realitas-realitas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat untuk dapat dijadikan manfaat dalam peningkatan kesejahteraan hidup baik secara sosial, ekonomi, agama, moral dan intelektual. Pada akhirnya dapat dikatakan andalah pilihan terbaik diantara yang baik bukan pilihan baik diantara yang buruk.

Pilkada Amanat Konstitusi

Pilkada merupakan suatu proses legal yang telah diamanatkan oleh konstitusi melaui Pasal 18, yang kemudian diatribusikan melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu Pilkada merupakan indikator dari proses demokratisasi pemerintahan, artinya keberhasilan proses pilkada merupakan wujud dari pencitraan yang baik terhadap penegakan konstitusi. Satu hal yang perlu dipahami bahwa dalam demokratisasi pemerintahan masalah pengorganisasian dan pembagian fungsi-fungsi kekuasaan negara, harus dilakukan baik secara horizontal maupun secara vertikal yang dilakukan melalui cara-cara konstitusional, hal ini menunjukkan bahwa eksistensi demokrasi dipakai sebagai cara masyarakat politik untuk turut mengorganisasikan dirinya dalam mencapai tujuan bersama senantiasa berlandaskan konstitusi sebagai wujud dari negara hukum .
Oleh karena itu proses pilkada senantiasa dilandaskan pada aspek-aspek hukum yang menjadi landasan pijakannya mulai dari proses penjaringan calon sampai pada terpilihya calon kepala daerah, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa proses pilkada merupakan proses politik yang harus mendapat dukungan dari partai politik dan masyarakat, tetapi hakekatnya bahwa pilkada lahir karena amanat konstitusi oleh karena itu masalah yang timbul harus diselesaikan secara konstitusional yaitu melalui jalur hukum Apabila terjadi ketidakpuasan terhadap jalanya pilkada dan berujung menjadi sengketa maka hal ini merupakan sengketa hukum yang telah diatur penyelesaianya melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya Pasal 106 "keberatan terhadap hasil Pilkada diajukan kepada Mahkamah Agung oleh pasangan calon dan hanya berkenaan dengan hasil penghitungan suara". Jadi tidak dibenarkan dan merupakan perbuatan yang melanggar hukum apabila terjadi proses hakim sendiri terhadap ketidakpuasan jalannya pilkada, baik yang dilakukan perseorangan, kelompok ataupun massal.
Adanya jaminan konstitusi sebagai landasan dalam penyelenggaraan pilkada merupakan amanat luhur yang harus dijunjung tinggi untuk mewujudkan cita-cita bangsa dalam proses penegakan demokrasi. Selain itu pilkada merupakan indikator terhadap pencitraan proses penegakan kontitusi yang merupakan dari proses penegakan hukum, sehingga menjadi tangung jawab kita bersama, sebab menurut Friedman proses penegakan hukum dipengaruhi oleh budaya hukum, subtansial hukum dan struktural hukum. Faktor budaya terkait dengan perilaku masyarakat dalam mensikapi aturan-aturan yang ada, subtansial hukum adalah faktor kesiapan aturan yang ada dalam mensikapi persoalan masyarakat, sehingga hukum harus berada di depan untuk mengawal pembaharuan dalam masyarakat. Faktor struktural adalah kesiapan pemerintah dalam menyediakan institusi-institusi untuk mengawal jalanya penegakan hukum, sehingga apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan yang ada akan mudah untuk proses penjatuhan sanksi sebagai wujud dari penegakan hukum materil .

Pilkada Sebagai Proses Pendidikan Politik

Ciri demokrasi adalah penghormatan terhadap hak asasi manusia , oleh karena itu proses pilkada harus diperuntukan untuk sarana pendidikan politik rakyat dalam memahami hak dan kewajibannya dalam mensuarakan aspirasinya. Artinya dalam proses pilkada harus benar-benar terjadi transfer pendidikan politik melalui mekanisme-mekanisme yang di selenggarakan oleh komisi pemilihan umum (KPU) dan partai politik sebagai institusi yang dibuat oleh negara untuk menjaring calon-calon kepala daerah. Sehingga proses pendewasaan politik tidak dikotori oleh kepentingan poltik tetapi harus didasari oleh kepentingan pemahaman terhadap nilai-nilai yang luhur berlandaskan moral dan intelektual yang berlaku pada daerah setempat. Sehingga masyarakat tidak disuguhi oleh nilai-nilai politik fragmentasi yang hanya untuk kepentingan sesaat yaitu meraih suara terbanyak dengan money politic, black campaign.
Semuanya itu melahirkan politik imajinasi yaitu politik yang menyuguhkan tema kampanye dimana seolah-olah dirinya adalah satu-satunya tokoh yang bisa diandalkan untuk menjadi penyambung lidah rakyat, kemudian klaim ini ditampilkan para tokoh politik dengan membagikan sembako dalam kegiatan-kegiatan agama, mendatangi tokoh agama, menjadi aktif untuk tim donatur-donatur kegiatan dimasyarakat, tapi itu semua dilakukan pada saat menjelang pesta demokrasi sehingga masyarakat tergiur, sekali lagi politik imajinasi telah membuat masyarakat tertipu, seharusnya berbuatlah seperti itu dikala dia menjadi tokoh tanpa embel-embel kekuasaan maka rakyat dengan atau tanpa ajakanpun tetap akan memilih apabila memiliki sikap yang welas asih terhadap rakyatnya.
Sebaiknya pilkada harus diwujudkan dalam bentuk pesta demokrasi yang benar-benar dijadikan sebagai sarana pendidikan politik lokal untuk mengenal siapa tokoh putera dan puteri terbaiknya untuk membangun daerah dimasa yang akan datang dengan jaminan intelektual, moral dan agama yang terbaik sehingga dapat memegang amanat rakyat tanpa ada dusta diantara kita.

Penutup
Dilihat dari sudut pandang demokrasi, otonomi daerah diperlukan dalam rangka memperluas partisipasi masyarakat dalam pemerintahan guna mewujudkan kesejahteraan yang berdampingan dengan sistem pemencaran kekuasaan menurut dasar negara berdasarkan atas hukum. Berdasarkan hal tersebut maka lahirlah mekanisme pilkada secara langsung sebagai wujud demokratisasi pemerintahan daerah, tetapi pada hakekatnya pilkada dan demokratisasi pemerintahan tidak hanya sekedar cara dalam pemilihan kepala daerah secara langsung tetapi harus sampai pada titik dimana masayarakat sebagai subjek pemilih turut merasakan hasil tersebut dalam bentuk kesejahteraan taraf hidup masyarakat .
Mengacu pada pengalaman berbagai negara, praktetk penyelenggaraan pemerintahan daerah pada umumnya memang memilih tiga opsi yaitu dipilih secara langsung oleh masyarakat, dipilih oleh dewan /council, dan oleh pemerintah pusat.Sebenarnya di banyak negara terutama negara-negara yang realatif sudah maju seperti Hongaria, Norwegia dan Amerika, tiga model mekanisme itu tidak banyak menjadi perdebatan, karena apapun sistem yang dianut, sepanjang fungsi-fungsi pemerintah di daerah (protective, public service dan development) dapat dilaksanakan secara optimal dan dirasakan realisasinya oleh masyarakat .
Akhirnya dapat dikatakan pilkada merupakan wujud demokratis dalam pemerintahan daerah, tetapi untuk menuju demokratisasi pemerintahan di daerah harus ada perubahan paradigma bahwa pilkada hanya merupakan cara bukan subtansi. Oleh karena itu subtansi demokratisasi pemerintahan di daerah terletak pada prinsip rakyat harus menjadi subyek pemerataan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat .



Daftar Pustaka
Buku
Bagir Manan, Menyosong Fajar Otonomi Daerah,UII-Pers, Yogyakarta, 2000.
Bintoro Tjokroaminoto,Good Governance (Paradigma Baru Manajemen Pembangunan), UI-Press, Jakarta, 2000.

M.Thalhah, Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung:Garansi Moral dan Demokrasi,Dalam Buku: Memperkokoh Otonomi Daerah; Kebijakan,Evaluasi dan Saran, UII-Press, Yogyakarta,2004.
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis,BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1983.

Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.


Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.