Sabtu, 12 Juli 2014

KEBIJAKAN DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN PARIWISATA DI ERA OTONOMI Oleh.E.Rakhmat Jazuli,SH.MH A.PENDAHULUAN Konsep pariwisata mengandung kata kunci perjalanan (tour) yang dilakukan seseorang, yang melancong demi kesenangan untuk sementara waktu, bukan untuk menetap atau bekerja. Hal ini kemudian berkembang menjadi satu kegiatan yang serius tidak hanya semata-mata untuk kesenangan belaka, akan tetapi pariwisata menjadi suatu kegiatan yang didalamnya mengandung makna yang sangat berkaitan dengan berbagai misi kegiatan yang dikemas secara serius dan direncanakan. Oleh karena itu melalui pariwisata bisa terjadi mega bisnis yang dapat menghasilkan devisa negara yang cukup menjanjikan karena pariwisata merupkan industri yang memilki mata rantai yang cukup signifikan. Sesungguhnya pariwisata telah dimulai sejak dimulainya peradaban manusia itu sendiri, yang ditandai oleh adanya pergerakan manusia yang melakukan ziarah atau perjalanan agama , namun demikian tonggak-tonggak sejarah dalam pariwisata sebagai fenomena modern dapat ditelusuri dari perjalanan Marcopolo(1254-1324 M) yang menjelajahi Eropa sampai Tiongkok, untuk kemudian kembali ke Venesia, yang kemudian disusul oleh perjalanan Pangeran Henry (1394-1460 M ), Cristopher Colombus (1451-1506 M) dan Vasco da Gama ( Akhir Abad XV M ), sedangkan sebagai kegiatan ekonomi industri pariwisata baru berkembang pada awal abad ke-19 ( Pitana & Gayatri, 2005:76 ). Bagi Indonesia jejak pariwisata dapat ditelusuri kembali ke dasawarsa 1910-an yang ditandai dengan dibentuknya VTV ( Vereeneging Toeristen Verkeer ) , sebuah badan pariwisata Belanda di Batavia yang bertindak sebagai tour operator dan travel agent untuk mempromosikan Indonesia khususnya Jawa dan Bali Adanya perkembangan pariwisata dari tahun ketahun yang cukup signifikan sehingga menjadi suatu industri ekonomi yang cukup pesat, karena disebabkan perubahan struktur sosial ekonomi negara didunia menjadi suatu fenomena global, kebutuhan dasar dari setiap warga negara yang ingin berwisata, dan bagian dari kewajiban pemerintah sebagai pemangku kebijakan untuk dapat memberikan berbagai fasilitas dan prasarana untuk mempermudah jalanya industri pariwisata agar lebih dapat berkembang dan memberikan devisa untuk kesejahteraan rakyatnya. Artinya industri pariwisata merupakan industri yang melibatkan banyak aspek usaha kreatif yang bisa diciptakan untuk kemakmuran rakyat mulai dari industri pariwista itu sendiri, promosi industri seni dan budaya, industri kerajinan tangan, industri makanan, dan berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Adanya mata rantai ini cukup memberikan peluang kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk dapat membuat kebijakan pariwisata lebih bermakna untuk kesejahteraan rakyat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 3 “kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani , rohani dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat”, adanya fungsi yang melekat terhadap kewajiban pemerintah untuk dapat menciptakan kesejahteraan dari pendapatan sektor pariwisata membuat peran pemerintah menjadi sangat penting karena pemerintah menjadi subjek yang menentukan terhadap kebijakan pariwisata . Pemerintah dalam pengertian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah hal ini sejalan dengan prinsip otonomi daerah dimana daerah mempunyai kewenangan yang cukup luas dalam menggali potensi daerahnya khususnya sektor pariwisata yang merupakan kewenangan yang diotonomkan kepada pemerintah daerah. Adanya peran ganda yang diberikan kepada pemerintah yaitu untuk meningkatkan pendapatan pemerintah bertindak sebagai regulator artinya pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus mampu untuk membuat kebijakan yang produktif untuk bisa menggali pendapatan dari sektor pariwisata, sedangkan pemerintah sebagai agen perubahan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerintah dari pendapatan tersebut harus bisa menyalurkan untuk suatu mata anggaran yang benar-benar produktif untuk mendukung industri pariwisata melalui pemberdayaan masyarakat. Inilah beban terbesar yang diamantkan oleh sektor pariwisata di Indonesia, jangan sampai terjadi masyarakat hanya jadi korban atau objek dari kebijakan pariwisata melalui efek tranformasi budaya yang dibawa oleh para wisatawan asing dalam pergaulan sosial dimasyarakat. Oleh karena itu pemerintah harus dapat menciptakan berbagai kreasi kebijakan yang dapat mendukung industri pariwisata, tetapi hal ini tidak dengan mudah dapat diwujudkan, ada berbagai faktor yang harus dilakukan pemerintah untuk dapat menciptakan industri pariwisata yang cukup kuat untuk bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pariwisata merupakan bagian hal yang terpenting dalam era otonomi daerah karena ini merupakan salah satu kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk mengelolanya. Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan selain yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 menyatakan “pemerintah Kabupaten /Kota berwenang untuk” ; a. Menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan Kabupaten/Kota ; b. Menetapkan destinasi Pariwisata Kabupaten/Kota ; c. Menetapkan daya tarik wisata Kabupaten/Kota ; d. Melaksanakan pendaftaran ,pencatatan dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata; e. Mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisata diwilayahnya; f. Memfasilitasi dan melakukan promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata yang berada di wilayahnya ; g. Memfasilitasi pengembangan daya tarik wisata baru ; h. Menyelenggarakan pelatihan dan penelitian kepariwisataan dalam lingku Kabupaten/Kota ; i. Memelihara dan melestarikan daya tarik wisata yang berada diwilayahnya ; j. Menyelenggarakan bimbingan masyarakat sadar wisata ; k. Mengalokasikan anggaran kepariwisataan . Adanya kewenangan ini memberikan suatu peluang yang cukup besar untuk pemerintah daerah dapat mengembangkan sektor pariwisata karena selain peran sebagai regulator pemerintah juga mempnyai peran untuk dapat menggali potensi daerah kemudian menetapkan dalam destinasi pariwisata didaerah. Adanya kewenangan yang cukup besar ini akan membawa konsekuensi terhadap sistem pengelolaan pariwisata didaerah untuk dapat dikembangkan dan bermanfaat terhadap kesejahteraan rakyat didaerah, karena pada hakekatnya otonomi daerah memiliki tujuan ganda, pertama; pemberian otonomi daerah merupakan strategi untuk merespon tuntutan masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama yaitu pembagian kekuasaan, pemerataan pendapatan dan kemandirian sistem manajemen didaerah. Kedua; otonomi daerah dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam rangka memperkokoh perekonomian nasional untuk menghadapi era perdagangan bebas ( Mardiasmo;2009). Oleh karena itu pariwisata sebagai sektor industri yang cukup mempunyai efek ekonomi yang cukup signifikan dalam era otonomi daerah harus dapat dikelola berdasarkan manajemen yang baik dalam sistem pemerintahan, inilah tantangan yang terbesar yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah B. PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DALAM KEBIJAKAN PARIWISATA Menurut UN-WTO, peran pemerintah dalam menentukan kebijakan pariwisata sangat strategis dan bertanggung jawab terhadap beberapa hal berikut ( I Gde Pitana, 2009:113) ; 1. Membangun kerangka ( framework ) operasional dimana sektor publik dan swasta terlibat dalam menggerakan denyut pariwisata. 2. Menyediakan dan memfasilitasi kebutuhan legislasi, regulasi dan kontrol yang diterapkan dalam pariwisata, perlindungan lingkungan, dan pelestarian budaya serta warisan budaya. 3. Menyediakan dan membangun infrastruktur transportasi darat, laut dan udara dengan kelengkapan prasarana komunikasinya. 4. Membangun dan memfasilitasi peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan menjamin pendidikan dan pelatihan yang profesional untuk menyuplai kebutuhan tenaga kerja disektor pariwisata. 5. Menerjemahkan kebijakan pariwisata yang disusn ke dalam rencana kongkret yang mungkin termasuk didalamnya ; a.Evaluasi kekayaan aset pariwisata, alam dan budaya serta mekanisme perlindungan dan pelestariannya. b. Identifikasi dan kategorisasi produk pariwisata yang mempunyai keungggulan kompetitif dab komparatif. c. Menentukan persyaratan dan ketentuan penyediaan infrastrukturdan suprastruktur yang dibutuhkan yang akan berdampak pada wujud pariwisata. d. Mengelaborasi program untuk pembiayaan dalam aktivitas pariwisata baik untuk sektor publik maupun swasta. Dari uraian diatas ada beberapa hal yang perlu dilaksanakan dalam pembangunan pariwisata yaitu pemahaman yang baik dari sisi pemerintah sebagai regulator maupun dari sisi pengusaha selaku pelaku bisnis. Pemerintah tentu harus memperhatikan dan memastikan bahwa pembangunan pariwisata itu akan mampu memberikan keuntungan sekaligus menekan biaya sosial ekonomi serta dampak lingkungan sekecil mungkin. Disisilain pembisnis yang lebih terfokus dan berorientasi keuntungan tentu tidak bisa seenaknya melakukan segala sesuatu demi mencapai keuntungn tetapi harus dapat menyesuaikan dengan kebijakan atau regulasi dari pemerintah, misalnya melalui peraturan tata ruang, perijinan, lisensi dan peraturan perundang-undangan. Adanya regulasi merupakan hal yang sangat penting karena regulasi merupakan suatu usaha dari instansi pemerintah yang telah diberi wewenang atau otoritas untuk mengatur aktivitas tertentu yang berada dalam wilayah yurisdiksinya dalam hal ini adalah pemerintah daerah. Hal ini berarti pemerintah memberlakukan aturan tertentu untuk mendikte aktivitas pihak lain sebagai alat bagi pemerintah dalam menjamin stakeholder pariwisata tetap berperilaku dalam koridor kebijakan pariwisata yang telah ditetapkan. Inilah peran dan tanggung jawab yang dimiliki pemerintah daerah dalam hal kebijakan pariwisata pemerintah sebagai regulator harus dapat memiliki peran yang lebih karena regulator sangat berperan untuk menentukan sistem pengelolaan pariwista yang akan diterapkan dalam pengambilan kebijakan. Ada beberapa prinsip yang harus dijadikan pedoman oleh pemerintah dalam mengelola pariwisata. Khususnya pada era otonomi daerah, karena identitas lokal kembali menemukan jatidirinya setelah reformasi mengggugat kebijakan pemerintahan orde baru, masyarakat adat dikembalikan pada makna yang sesungguhnya setelah dilaksanakan Konggres Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta pada tanggal 15-22 Maret 1999. Masyarakat Adat digolongkan dalam identitas masyarakat yang memiliki leluhur ( asal-usul keturunan ), wilayah geografis tertentu, sistem nilai, ideologi, politik,ekonomi, sosial dan budaya (Rachmad Syafa’at ;2001:133 ). Hal ini sejalan dengan hak konstitusional masyarakat adat yang diakui dalam UUD 1945 Amandemen Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta dan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang. Pemerintah daerah dalam era otonomi daerah sering disebut sebagai pemerintah lokal yaitu pemerintah yang merepresentasikan masyarakat dengan segala keaslian tradisinya, bahkan otonomi daerah terkadang dikonsepsikan dalam wilayah geneologis yang harus didahulukan dan diberi tempat terdepan dalam proses pembangunan daerah. Adanya semangat membangun kearifan lokal jelas merupakan jalan terbuka untuk promosi konsep pariwisata pada era otonomi daerah, industri pariwisata yang berbasis kearifan lokal menjadi berkembang pada era otonomi daerah karena hal ini menjadi identitas diri daerah , misalnya yang sekarang berkembang pesat adalah industri pembuatan identitas batik daerah tidak hanya dimonopoli batik jawa akan tetapi hampir tiap daerah memiliki identitas batik daerah yang terbaru adalah batik papua, selain itu ada beberapa prinsip pengelolaan yang harus bisa dijadikan pedoman untuk menjawab tantangan industri pariwisata pada era otonomi. C.PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN PARIWISATA PADA ERA OTONOMI Pengelolaan pariwisata haruslah mengacu pada prinsip-prinsip pengelolaan yang menekankan nilai-nilai kelestarian lingkungan alam , komunitas, dan nilai sosial yang memungkinkan wisatawan menikmati kegiatan wisatanya serta bermanfaat bagi kesejahteraan komunitas lokal. Menurut Cox ( dalam I Gde Pitana , 2009:81) Pengelolaan pariwisata pada era otonomi daerah harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut : 1. Pembangunan dan pengembangan pariwisata haruslah didasarkan pada kearifan lokal yang merefleksikan keunikan peninggalan budaya dan keunikan lingkungan ( special local sense ) . 2. Preservasi, proteksi dan peningkatan kulaitas sumberdaya yang menjadi basis pengembangan kawasan pariwisata. 3. Pengembangan atraksi wisata tambahan yang mengakar pada khasanah budaya lokal. 4. Pelayanan kepada wisatawan yang berbasis keunikan budaya dan lingkungan lokal. 5. Memberikan dukungn dan legitimasi pada pembangunan dan pengembangan pariwisata jika terbukti memberikan manfaat positif, tetapi sebaliknya mengendalikan dan/atau menghentikan aktivitas pariwisata tersebut jika melampaui ambang batas ( carrying capacity ) lingkungan alam atau akseptabilitas sosial walaupun disisi lain mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Disamping itu, pengelolaan pariwisata harus memperhatikan prinsip-prinsip keseimbangan antar berbagai elemen yang saling berinteraksi dan mempengaruhi. Prinsip-prinsip kesimbangan yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut : 1. Pembangunan versus konservasi ; Pariwisata tidak hanya menyangkut bagaimana membangun dan mengelola suatu kawasan menjadi objek wisata, namun pengelolaanya harus mempertimbangkan prinsip-prinsip keberlanjutan dan proteksi baik terhadap aspek ekonomi, budaya, dan lingkungan. Keseimbangan antara pembangunan dan konservasi menjadi faktor yang esensial bagi keberlanjutan pariwisata. 2. Penawaran versus permintaan ; Pengelolaan pariwisata harus memperhatikan keseimbangan antara penawaran dan permintaan . Penawaran mewakili produk pariwisata seperti taman wisata alam, akomodasi, eko-tur, sarana rekreasi, aktivitas budaya, dan sebagainya. Sedangkan permintaan mengacu kepada pasar pariwisata, yaitu tife wisatawan yang menjadi target tujuan, berapa uang yg dikeluarkan, kegiatan menarik yang dilakukan, dan sebagainya. Menyeimbangkan penawaran dan permintaan merupakan salah satu kunci untuk tetap suksesnya pariwisata . 3. Keuntungan versus biaya ; Pengelolaan pariwisata harus memperhatikan dan memastikan bahwa ada keseimbangan distribusi keuntungan dan biaya . Hal ini menyangkut pengembalian investasi yang cukup, pengalokasian fee untuk mengatasi dampak aktivitas pariwisata, pengembalian yang optimal atas biaya sosial, ekonomi dan budaya bagi penduduk lokal, insentif dan besaran pajak yang wajar. 4. Manusia versus lingkungan ; Tantangan pengelolaan pariwisata adalah mencari keseimbangan antara tradisional ways dengan modern practices. Artinya keberadaan dapat diarahkan sebagai wahana penyeimbang antara jepentingan kebutuhan manusian dan kelestarian lingkungan , baik melalui konsep kawasan konservasi, pembaharuan sumber daya alam, daur ulang yang sejalan dengan tata nilai dan norma yang dianut komunitas lokal. Melalui proses pendidikan dan pelatihan dapat diusahakan perubahan perilaku dan kebiasaan komunitas lokal untuk menjadi manusia sadar wisata yaitu manusia yang peduli akan kelestarian sumber daya alam sekitar sehingga nilai-nilai pariwisata bisa terjaga dengan baik. Kepedulian tersebut tidak hanya sebatas terhadap lingkungan alam tapi juga sikap keramahan akan sesama sehingga tercipta suasana nyaman dan aman. Prinsip-prinsip ini sangat berperan dalam rangka untuk melaksanakan fungsi-fungsi perlindungan terhadap sumber daya alam dan lingkungan, karena umumnya pengembangan kawasan wisata akan diikuti oleh degradasi sumber daya alam yang diakibatkan oleh pertumbuhan dan pengembanngan industri pariwisata yang ekstensif dan tidak terkendali, serta cepatnya pertumbuhan penduduk di kawasan tersebut sebagai konsekuensi logis dari kesempatan untuk membuka lapangan ekonomi. Akhirnya prinsip ini juga berperan dalam rangka mewujudkan keberlanjutan ekonomi, yaitu pengembangan pariwisata juga menyediakan keuntungan ekonomi bagi lapisan masyarakat bawah yang pada umumnya berada dikawasan pedesaan sehingga diharapkan mampu menciptakan pendistribusian pendapatan dan sumber daya ekonomi yang lebih baik, hal ini dapat dilakukan dengan prinsip manusia sadar wiasata. Hal lain adalah terkait dengan peningkatan integritas budaya yaitu aspek ekologi dalam pariwisata menyiratkan sebuah hubungan timbal balik. D. TANTANGAN PENGEMBANGAN PARIWISATA. Tantangan atau ancaman merupakan kondisi eksternal yang dapat mengganggu dan menghambat pengembangan pariwisata antara lain sebagai berikut : • Ekses negatif dari berlangsungnya globalisasi yang dapat menyebabkan terancamnya kelestarian adat dan budaya daerah; • Era perdagangan bebas di kawasan Asia (AFTA) yang akan semakin menambah tingkat kompetitif dalam menarik wisatawan. • Kerusakan dan penurunan daya dukung lingkungan akibat adanya pembangunan kawasan wisata yang tidak memperhatikan kaidah pembangunan berkelanjutan (sustainable development); • Gejala bencana alam seperti gempa, longsor, banjir, dan tsunami yang dapat terjadi sewaktu-waktu dan tidak bisa diperkirakan kejadiannya; • Penyebaran wabah penyakit (epidemi) seperti Flu Burung, dan Iain-lain, berorientasi menghambat pertumbuhan pariwisata; • Semakin tingginya tingkat persaingan antar daerah dalam upaya menarik wisatawan dan investor untuk berinvestasi di daerahnya. • Pembangunan kondisi dan keberadaan budaya dan pariwisata yang masih bersifat labil. E.Penutup Pariwisata merupakan bagian hal yang terpenting dalam era otonomi daerah karena ini merupakan salah satu kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk mengelolanya. Pengelolaan pariwisata haruslah mengacu pada prinsip-prinsip pengelolaan yang menekankan nilai-nilai kelestarian lingkungan alam , komunitas, dan nilai sosial yang memungkinkan wisatawan menikmati kegiatan wisatanya serta bermanfaat bagi kesejahteraan komunitas lokal Tantangan atau ancaman merupakan kondisi eksternal yang dapat mengganggu dan menghambat pengembangan pariwisata harus dapat diatasi dengan mengeluarkan kebijakan yang tepat. F. Daftar Bacaan. Hasan,F, 2004 Pembangunan Berwawasan budaya,Jakarta,Departemen Kebudayaan dan Pariwisata I Gde Pitana & I Ketut Surya Diarta, 2009: Pengantar Ilmu Pariwisata, Penerbit PT Andi Yogyakarta Innu kencana Syafiie, 2009 Pengantar Ilmu Pariwisata,Penerbit CV Mandar maju, Bandung Oka A Yoeti.1999. Industri Priwisataa Dan peluang Kesempatan Kerja, Penerbit PT Pertja Jakarta, UUD 1945 UU No.32 Tahun 2004 Undang-undang Tentang Pemerintahan Daerah UU Nomor 10 Tahun 2009 Undang-undang tentang Kepariwisataan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar